Sumenep (ANTARA News) - Nama Anwari mungkin tidak terkenal, bahkan bagi sebagian warga Sumenep di Jawa Timur, tempat pria itu lahir pada 2 April 1992.
Namun, di komunitas teater di sana dia termasuk selebritas. Prestasinya cukup banyak.
Anwari, yang lahir di Desa Nyapar, menjadi yang terbaik di ajang Monolog Ruang Publik yang diselenggarakan Federasi Teater Indonesia pada 2011 serta Festival Monolog Dramakala di London School Jakarta (2012), dan ajang Federasi Teater Indonesia (2013).
Alumnus Jurusan Sendratari Universitas Negeri Surabaya itu juga pernah menjadi aktor terbaik dalam Festival Teater Internasional di Maroko pada 2013.
Sekarang, pria yang semasa remaja sekolah di MAN 1 Sumenep itu menjadi satu dari 13 seniman Indonesia yang tergabung dalam Suzuki Company of Toga (SCOT), salah satu jaringan teater profesional di Jepang.
Anwari kembali ke kampung halamannya di Desa Nyapar pada 2014 dan mendirikan Padepokan Seni Madura, berusaha menularkan kemampuannya kepada keluarga dan warga setempat.
"Nyapar adalah kampung halaman saya dan tentunya wajar jika saya berusaha lebih mengenalkan dan mempopulerkan Nyapar. Saya bangga menjadi orang desa dan menjalani hidup di desa," katanya.
Kebanggaannya menjadi orang desa dan menjalani kehidupan di pedesaaan dia tuangkan dalam karya teater antropologi bertajuk "Tatengghun", bahasa Madura yang berarti pertunjukan.
Pada Minggu (23/7) malam, pentas teater yang melibatkan penata musik dan sejumlah pemain dari luar daerah berlangsung di Singkong Art Space, halaman dan rumah Anwari di Dusun Balowar, sekitar 12 kilometer dari Kota Sumenep.
Anwari sengaja mementaskan salah satu karya dia di kampungnya guna "membumikan" teater, menunjukkan bahwa teater bisa dinikmati semua elemen masyarakat, termasuk orang desa.
"Tatengghun" memasukkan unsur lokal Madura, baik berupa objek bendawi maupun nonbendawi, serta melibatkan pegiat seni lokal seperti pelestari sekaligus pembaca "mamaca" (tembang Madura) dan kelompok musik "saronen" Irama Putra.
Pentas itu juga menghadirkan sapi, kandang sapi, dan alat membajak sawah, yang lumrah dalam kehidupan desa di Madura.
Dan pada adegan terakhir "Tatengghun", Anwari dan para pemain menyampaikan penghormatan kepada orangtua dan leluhur mereka, lalu berteriak: "Mak, anakmu lahir dari kandang sapi!"
"Saya memang lahir dan dibesarkan oleh orang tua dari hasil kandang sapi. Tatengghun itu memang cerita sebagian perjalanan hidup saya, yang semuanya berbasis desa. Dari desa, mari tunjukkan prestasi setinggi mungkin," kata Anwari.
(Baca: Teater dosen London School terima penghargaan MURI)
Pewarta: Slamet Hidayat dan Abd Aziz
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017