Bandarlampung (ANTARA News)- Organisasi Maritim Internasional (IMB - International Maritime Bureau) dalam publikasinya menyebutkan jumlah pembajakan-perompakan periode Januari-Maret 2007 di seluruh dunia turun secara drastis jika dibandingkan dengan periode yang sama 2006. Insiden perompakan bersenjata atas kapal-kapal untuk tiga bulan pertama 2007 mencapai 41 kasus, atau 20 persen lebih rendah dibandingkan tahun 2006 yang mencapai 61 kasus perompakan bersenjata. Meski ada kecenderungan menurun, IMB mencatat, beberapa daerah tetap rawan perompakan, terutama Nigeria dan Somalia. Penyerangan atas pekerja tambang minyak lepas pantai maupun atas kapal di Nigeria tercatat 6 kasus, atau dua kali lebih banyak dibandingkan 3 bulan pertama pada tahun sebelumnya. Sedang di Somalia terjadi 2 kasus penyerangan-pembajakan atas kapal. Somalia dan Nigeria memang dikenal sebagai daerah berbahaya, akibat konflik yang berkepanjangan. Oleh karena itu, IMB merekomendasikan agar kapal-kapal tidak berlabuh, dan setidaknya berlayar 75 mil dari garis pantai Somalia. Tahun 2005, di Somalia dilaporkan terjadi 35 kasus perompakan, padahal 2004 hanya 2 kasus. IMB juga menyebutkan bahwa perompakan di kawasan Asia Tenggara turun secara siginifikan. Di Indonesia hanya tercatat 9 kasus, 2 di antaranya di Selat Malaka, dan angka itu turun drastis dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 19 kasus. "Kawasan ini menunjukkan suatu contoh yang bagus tentang kerjasama antar negara di kawasan itu, untuk mengatasi dan menekan ancaman perompakan," demikian IMB. Indonesia, Malaysia, dan Singapura, pada Juli 2004 lalu telah menyepakati pengamanan Selat Malaka dengan konsep "patroli terkoordinasi", dan bukan "patroli bersama". Sejak diberlakukannya patroli terkoordinasi itu, jumlah perompakan-penyerangan bersenjata di Selat Malaka turun drastis. Data statistik IMB juga menunjukkan penurunan angka pembajakan-perompakan di Selat Malaka. Meski demikian, IMB menyebutkan ada beberapa daerah di kawasan Asia Tenggara yang perlu diwaspadai, seperti pelabuhan Belawan dan Tangjung Priok (Indonesia), Selat Malaka, dan Selat Singapura. Selat Malaka yang terletak di perairan Sumatera dan Semenanjung Malaka merupakan urat nadi perdagangan dunia, yang menghubungkan Samudera Hindia dan Pasifik, atau dari Asia Barat hingga Asia Timur. Panjang Selat Malaka diperkirakan 800 Km, dan telah menjadi pusat perdagangan dunia sejak zaman kerajaan-kerajaan Nusantara. Mantan Kasal Bernard Kent Sondakh pernah mengatakan bahwa 72 persen pedagangan dunia melalui Selat Malaka. Dari sisi ekonomi dan kestrategisan, Selat Malaka merupakan jalur pelayaran terpenting dan tersibuk di dunia, seperti halnya Terusan Suez dan Panama Lebih dari 50 ribu kapal pertahun melintasi Selat Malaka, yang mengangkut hampir seperlima perdagangan laut dunia. Kapal-kapal tanker diperkirakan mengangkut 11 juta barel minyak per hari melalui Selat Malaka pada 2003, terutama untuk tujuan Jepang. Seiring berkembangnya perekonomian Cina, negara berpenduduk terbanyak di dunia itu juga tumbuh menjadi pengimpor minyak terbesar dunia. Akibatnya, perairan Selat Malaka makin padat. Selat Philips (Singapura) yang berada di titik tersempit di Selat Malaka adalah salah satu kemacetatan laut dunia. Namun, nilai strategis Selat Malaka, juga dibarengi dengan kerawanannya, terutama perompakan atau ancaman terorisme laut. Pada 2003 saja telah terjadi 150 kasus penyerangan/perompakan di Selat Malaka. Melihat itu, negara-negara besar telah menyatakan keinginannya untuk terlibat mengamankan Selat Malaka, seperti AS, India, atau Jepang. Pengamanan Selat Malaka juga menjadi salah satu topik yang dibahas dalam Konfrensi Keamanan Asia di Singapura pada 4-5 Juni 2005 lalu. Namun negara-negara pantai di Selat Malaka, yakni Indonesia, Singapura, dan Malaysia, telah menyatakan dengan tegas bahwa negara- negara pantai yang bertanggung jawab atas pengamanan Selat Malaka, sementara negara lainnya diharapkan hanya memberikan bantuan, terutama di bidang peralatan dan informasi. Sebagaimana disebutkan Menhan Juwono Sudarsono, kepedulian sejumlah negara, seperti Jepang dan AS, untuk membantu mengamankan Selat Malaka adalah hal yang positif, sepanjang mereka tidak membantu dalam gelar kekuatan militer, seperti mengerahkan kapal- kapal perangnya. Dalam rangka itu, ketiga negara pesisir itu pada Juli 2004 lalu telah menerapkan patroli terkoordinasi untuk mengamankan Selat Malaka. Bukan format "joint patrol" yang dipilih, karena harus ada salah satu dari ketiga negara itu yang menjadi panglimanya jika format kerjasamanya adalah patroli bersama. Tetap waspada Menurut Kasal Laksamana Slamet Soebijanto belum lama ini, potensi kerawanan di Selat Malaka harus tetap diwaspadai meski angka kejahatan di laut sudah dapat ditekan ke titik terendah. Selat Malaka lebih aman saat ini berkat patroli terkoordinasi Malsindo (Malaysia, Singapura, Indonesia). Sebelum patroli terkoordinasi itu digelar, sebenarnya telah terjalin patroli laut bilateral antara Indonesia- Malaysia, dan Indonesia- Singapura. Namun kerjasama itu kurang efektif mengamankan Selat Malaka, karena tidak dilakukan sepanjang tahun dan membutuhkan peralatan yang lebih besar. Keterbatasan kemampuan angkatan laut negara pesisir itu untuk melakukan patroli sendiri adalah salah satu penyebabnya. Sebagai contoh, untuk mengamankan perairan Indonesia di Selat Malaka, Indonesia idealnya mengerahkan 36 kapal perang, namun hanya 7 kapal patroli yang bisa digelar. Melalui patroli terkoordinasi, tugas pengamanan yang dilakukan Indonesia, Malaysia, dan Singapura, menjadi lebih jelas, termasuk prosedur yang harus ditempuh dalam mengejar kapal-kapal mencurigakan yang memasuki perairan ketiga negara tersebut. Menurut Kasal, meski kini lebih aman, namun pengamanan Selat Malaka harus tetap ditingkatkan, karena sangat banyak negara berkepentingan atas Selat Malaka. Optimalisasi pengamanan Selat Malaka tetap diupayakan dengan pemberian bantuan oleh negara-negara lain yang kepentingan bisnis-politiknya sangat tergantung atas keamanan Selat Malaka, seperti Jepang dan Amerika Serikat. Mereka ingin menyertakan Thailand untuk terlibat dalam patroli terkoordinasi. Sebagaimana disebutkan Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto belum lama ini, pemerintah Thailand secara informal telah menyampaikan keinginannya untuk terlibat dalam patroli terkoordinasi. Keinginan Thailand itu disampaikan dalam pertemuan Panglima Bersenjata Thailand dan Panglima TNI di Thailand pada Maret 2007, setelah sebelumnya disampaikan pada Forum Pertemuan Panglima Angkatan Bersenjata ASEAN tahun 2005. Patroli terkoordinasi terbukti lebih efisien mengamankan Selat Malaka, namun potensi kerawanannya tetap tinggi sehingga negara-negara pesisir tidak boleh lengah dalam mengamankannya.(*)
Oleh Oleh Hisar Sitanggang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007