"Meski Indonesia memiliki potensi yang besar, tak banyak ilmuwan yang melakukan penelitian tentang laut dalam karena peralatan yang terbatas," katanya di Ambon, Jumat.
Yosmina Tapilatu adalah salah satu perempuan peneliti terkemuka di PPLD-LIPI. Ia menjadi penanggung jawab dan kurator dalam sesi "Exploring the Oceans: Coral Reefs to the Deep Sea" di Indonesian-American Kavli Frontiers of Science (KFoS) Symposium.
Dikatakannya, masalah pendanaan penelitian juga menjadi penyebab tak banyak ilmuwan muda yang melakukan riset terkait laut dalam.
Hal itu tentu saja berbeda dengan yang terlihat pada ilmuwan dari Amerika Serikat di simposium KFoS.
Dalam seminar yang digelar di Ambon, pada 17 - 21 Juli 2017 tersebut, rata-rata ilmuwan yang hadir sebagai peserta berusia di bawah 45 tahun, telah bergelar doktor dan aktif meneliti.
Dalam sesi tersebut, selain Hawis Madduppa dari Institut Pertanian Bogor, dihadirkan juga Karen J. Osborn dari Lembaga Smithsonian dan Museum Sejarah Alam Nasional, dan Alison Sweeney dari Universitas Pennsylvania.
Karen mempersentasikan penelitiannya pada spesies-spesies yang hidup di bawah kolom air (midwater), yang merupakan habitat laut dengan volume terbesar, meliputi 90 persen habitat yang ada di bumi.
Ia telah memperdalam studi tentang spesies yang belum dikenali di kedalaman 500 - 1.000 meter di bawah permukaan laut, yang mana banyak area minim akan sinar matahari.
Sedangkan Alison Sweeney menjelaskan secara detail penelitiannya tentang kemampuan kerang raksasa (kima) dalam memanfaatkan sinar matahari untuk menghasilkan energi.
Dalam penelitiannya itu, kima memanfaatkan alga yang berada di tubuhnya sebagai panel surya alami sehingga energi dari hasil fotosintesis alga dapat dimanfaatkan.
"Masalah pendanaan menjadi salah satu penyebab mengapa ilmuwan Indonesia kesulitan untuk melakukan penelitian," kata Yosmina.
Pewarta: Shariva Alaidrus
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017