Deputi Akses Permodalan Badan Ekonomi Kreatif, Fadjar Hutomo, mengatakan kondisi saat ini sungguh tidak ideal bagi pengembangan industri kreatif karena modal yang ada di negeri ini seluruhnya terkonsentrasi di perbankan sebesar Rp5.000 triliun dan modal ventura Rp10 triliun.
"Sementara dua lembaga keuangan ini cukup ketat aturannya dalam menyalurkan kredit. Sedangkan kita tahu bahwa bisnis kreatif ini umumnya dilakukan anak muda yang masih minim pengalaman, tidak ada agunan, dan belum ada rekam jejak," kata dia di Palembang, Jumat.
Persoalan tersebut, lanjut Fadjar, harus dicarikan solusinya oleh negara agar ekosistem industri kreatif benar-benar terbangun di masyarakat.
Berbagai alternatif sudah dibicarakan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di antaranya mengumpulkan dana masyarakat dalam lembaga investasi yang khusus mendanai bisnis anak muda ini.
"OJK sedang mengkajinya," kata dia.
Sementara untuk jangka pendek, pemerintah sudah mengalokasikan dana Rp10 miliar untuk bisnis rintisan (startup) yakni kepada mereka yang telah memenangkan kompetisi.
"Ini sifatnya hibah, karena negara tidak boleh menjadi penanam modal. Karena hibah, jadi aturan harus jelas, dan salah satunya harus menang kompetisi kreatif di dalam dan di luar negeri," kata dia.
Indonesia dalam tahun-tahun ke depan akan mengembangkan sektor industri kreatif ini yang baru 1,7 persen sumbangsihnya pada PDB.
Sektor ini diperkirakan akan terus bertumbuh seiring dengan kebutuhan dunia akan inovasi dalam konteks pemenuhan kebutuhan konsumen.
Pada tahun ini, Bekraf menargetkan terciptanya 2.000 usaha startup kreatif.
"Salah satunya yang sedang digenjot yakni bisnis pembuatan games dan aplikasi," kata dia.
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017