Hari itu semua mata memang tertuju pada lelaki berusia 17 tahun itu, karena keberhasilannya meraih medali emas pada olimpiade kimia tingkat dunia atau "International Chemistry Olympiad" (IChO) ke-49 di Thailand, 6-15 Juli 2017. Sebuah upacara penyambutan, yang khusus dihadiri oleh Gubenur Riau sebagai pembina upacara, berlangsung dengan meriah.
Namun, sang juara terlihat tetap "membumi" meski dielu-elukan seperti pahlawan. Ia menyium tangan guru-gurunya sebelum naik ke podium di tengah lapangan. Gubernur Riau melihat sang pahlawan muda itu dari jauh dengan mata berkaca-kaca penuh haru.
"Tentu saya terharu, kamu yang melihatnya juga pasti terharu, karena Dean sudah mengharumkan nama Indonesia diajang internasional. Apalagi pemenangnya berasal dari SMA 8 Pekanbaru," kata pria yang akrab disapa Andi Rachman ini.
Pemprov Riau memuji keberhasilan Dean dengan memberikan hadiah uang sebesar Rp7 juta. Ia berharap prestasi Dean Fanggohans bisa terus ditingkatkan dan menginspirasi generasi muda Riau.
Andi Rachman berpesan, Riau sangat membutuhkan sumber daya manusia yang handal untuk pembangunan.
"Riau butuh sumber daya manusia yang pintar karena ke depan peluang kemajuan sangat besar, namun tantangan juga akan beragam," katanya.
Dean Fanggohans lahir disebuah keluarga biasa di Kota Pekanbaru pada 2 Mei 2000. Ia adalah anak sulung dari tiga bersaudara dari pasangan suami-isteri Joni dan Sumanti.
"Saya juga tidak tahu bisa dapat anak sepintar dia. Saya cuma lulusan SMEA, ayahnya cuma lulus SMP," kata Sumanti kepada Antara.
Ia mengisahkan, Dean sudah terlihat pandai sejak kecil dan akrab dengan kompetisi bidang sains, yakni Olimpiade Sains Kuark (OSK).
"Awalnya sejak kelas 3 SD, pertama dari sekolah mendaftarkannya ikut OSK dan juara. Selanjutnya terus berkembang sendiri atas kemauannya. Saya tinggal dukung saja," kata Sumanti.
Meski bukan dari keluarga berada, Sumanti selalu berupaya memenuhi kebutuhan pendidikan anaknya. Dean dari kecil selalu "haus" membaca buku, dan mendapat kebebasan untuk membeli buku apapun.
"Kami selalu turuti kalau anak-anak butuh buku, waktu kecil dia suka ke toko buku Gramedia dan bebas memilih apa saja," katanya.
Menurut dia, Dean sudah punya ketekunan dalam belajar sejak kecil dan disiplin. Ia bisa tahan berjam-jam belajar dikamar demi mempersiapkan diri untuk lomba.
"Meski begitu, ketika disekolah dia tetap bergaul," katanya.
Selain itu, Sumanti juga mengatakan orang tua harus berperan besar ketika anaknya kalah, supaya bisa menerima kegagalan.
"Pernah dia tidak masuk untuk olimpiade ke India tahun 2013, dia cukup sedih tapi kami terus motivasi. Kami sering bilang kadang ada gagal, dan ada menang untuk bisa jadi juara," katanya.
Semenjak belia, Dean memang terus menorehkan prestasi nasional dan internasional bagi Indonesia. Sejak dibangku sekolah tingkat pertama di SMP Kalam Kudus, Pekanbaru, Dean sudah menyabet dua medali emas Olimpiade Sains Nasional (OSN). Pada saat itu, ia juga meraih satu medali emas bidang biologi pada "International Junior Sains Olympiad" tahun 2014 di Argentina.
Prestasinya terus berlanjut di SMAN 8 dengan meraih emas di OSN 2016 di Palembang, Sumatera Selatan, sebelum akhirnya terpilih mewakili Indonesia di ajang IChO. Keberhasilan Dean sekaligus mengakhiri "puasa" medali emas Indonesia pada ajang itu, setelah terakhir kali terjadi saat IChO ke-46 di Hanoi, Vietnam pada 2014.
Secara keseluruhan, tim Indonesia pada IChO ke-49 di Thailand berhasil meraih satu medali emas dan tiga perak. Peraih medali perak adalah Fahmi Naufal Rizki (SMA Kharisma Bangsa, Tangerang Selatan), M. Ridho Setiyawan (SMAN 1 Jawa Tengah), dan Mario Lorenzo (SMAK BPK Penabung Gading Serpong).
"Saya ingin membawa tradisi emas untuk Indonesia, setiap tahun setidaknya harus dapat satu emas," kata Dean tentang target selanjutnya.
Ketatnya persaingan
Keberhasilan itu tidak diraihnya dengan mudah karena pesaing lainnya sangat kuat seperti dari Tiongkok dan Taiwan, yang selalu menyapu semua emas. Ajang IChO diikuti oleh pelajar dari 80 negara di dunia. Dalam kompetisi ini setiap siswa diuji kemampuan dalam teori dan keterampilan dalam melakukan praktik dilaboratorium.
Selain itu, bagian materi yang dipertandingkan di IChO juga tidak pernah dipelajari oleh siswa tingkat SMA di Indonesia.
"Persiapan saya sebenarnya cukup panjang, mulai dari kelas 10 terus belajar sendiri maupun belajar dikelas, sampai persiapan khususnya selama 10 minggu mengikuti karantina," katanya.
Dean mulai terlihat dewasa dengan menerima kekalahan dimasa lalunya sebagai pelajaran untuk memperbaiki diri. Lelaki berkacamata ini juga mengakui bahwa orang tuanya menjadi salah satu motivasi untuk bangkit dan membangkitkan mental juaranya.
Namun, sang juara terlihat tetap "membumi" meski dielu-elukan seperti pahlawan. Ia menyium tangan guru-gurunya sebelum naik ke podium di tengah lapangan. Gubernur Riau melihat sang pahlawan muda itu dari jauh dengan mata berkaca-kaca penuh haru.
"Tentu saya terharu, kamu yang melihatnya juga pasti terharu, karena Dean sudah mengharumkan nama Indonesia diajang internasional. Apalagi pemenangnya berasal dari SMA 8 Pekanbaru," kata pria yang akrab disapa Andi Rachman ini.
Pemprov Riau memuji keberhasilan Dean dengan memberikan hadiah uang sebesar Rp7 juta. Ia berharap prestasi Dean Fanggohans bisa terus ditingkatkan dan menginspirasi generasi muda Riau.
Andi Rachman berpesan, Riau sangat membutuhkan sumber daya manusia yang handal untuk pembangunan.
"Riau butuh sumber daya manusia yang pintar karena ke depan peluang kemajuan sangat besar, namun tantangan juga akan beragam," katanya.
Dean Fanggohans lahir disebuah keluarga biasa di Kota Pekanbaru pada 2 Mei 2000. Ia adalah anak sulung dari tiga bersaudara dari pasangan suami-isteri Joni dan Sumanti.
"Saya juga tidak tahu bisa dapat anak sepintar dia. Saya cuma lulusan SMEA, ayahnya cuma lulus SMP," kata Sumanti kepada Antara.
Ia mengisahkan, Dean sudah terlihat pandai sejak kecil dan akrab dengan kompetisi bidang sains, yakni Olimpiade Sains Kuark (OSK).
"Awalnya sejak kelas 3 SD, pertama dari sekolah mendaftarkannya ikut OSK dan juara. Selanjutnya terus berkembang sendiri atas kemauannya. Saya tinggal dukung saja," kata Sumanti.
Meski bukan dari keluarga berada, Sumanti selalu berupaya memenuhi kebutuhan pendidikan anaknya. Dean dari kecil selalu "haus" membaca buku, dan mendapat kebebasan untuk membeli buku apapun.
"Kami selalu turuti kalau anak-anak butuh buku, waktu kecil dia suka ke toko buku Gramedia dan bebas memilih apa saja," katanya.
Menurut dia, Dean sudah punya ketekunan dalam belajar sejak kecil dan disiplin. Ia bisa tahan berjam-jam belajar dikamar demi mempersiapkan diri untuk lomba.
"Meski begitu, ketika disekolah dia tetap bergaul," katanya.
Selain itu, Sumanti juga mengatakan orang tua harus berperan besar ketika anaknya kalah, supaya bisa menerima kegagalan.
"Pernah dia tidak masuk untuk olimpiade ke India tahun 2013, dia cukup sedih tapi kami terus motivasi. Kami sering bilang kadang ada gagal, dan ada menang untuk bisa jadi juara," katanya.
Semenjak belia, Dean memang terus menorehkan prestasi nasional dan internasional bagi Indonesia. Sejak dibangku sekolah tingkat pertama di SMP Kalam Kudus, Pekanbaru, Dean sudah menyabet dua medali emas Olimpiade Sains Nasional (OSN). Pada saat itu, ia juga meraih satu medali emas bidang biologi pada "International Junior Sains Olympiad" tahun 2014 di Argentina.
Prestasinya terus berlanjut di SMAN 8 dengan meraih emas di OSN 2016 di Palembang, Sumatera Selatan, sebelum akhirnya terpilih mewakili Indonesia di ajang IChO. Keberhasilan Dean sekaligus mengakhiri "puasa" medali emas Indonesia pada ajang itu, setelah terakhir kali terjadi saat IChO ke-46 di Hanoi, Vietnam pada 2014.
Secara keseluruhan, tim Indonesia pada IChO ke-49 di Thailand berhasil meraih satu medali emas dan tiga perak. Peraih medali perak adalah Fahmi Naufal Rizki (SMA Kharisma Bangsa, Tangerang Selatan), M. Ridho Setiyawan (SMAN 1 Jawa Tengah), dan Mario Lorenzo (SMAK BPK Penabung Gading Serpong).
"Saya ingin membawa tradisi emas untuk Indonesia, setiap tahun setidaknya harus dapat satu emas," kata Dean tentang target selanjutnya.
Ketatnya persaingan
Keberhasilan itu tidak diraihnya dengan mudah karena pesaing lainnya sangat kuat seperti dari Tiongkok dan Taiwan, yang selalu menyapu semua emas. Ajang IChO diikuti oleh pelajar dari 80 negara di dunia. Dalam kompetisi ini setiap siswa diuji kemampuan dalam teori dan keterampilan dalam melakukan praktik dilaboratorium.
Selain itu, bagian materi yang dipertandingkan di IChO juga tidak pernah dipelajari oleh siswa tingkat SMA di Indonesia.
"Persiapan saya sebenarnya cukup panjang, mulai dari kelas 10 terus belajar sendiri maupun belajar dikelas, sampai persiapan khususnya selama 10 minggu mengikuti karantina," katanya.
Dean mulai terlihat dewasa dengan menerima kekalahan dimasa lalunya sebagai pelajaran untuk memperbaiki diri. Lelaki berkacamata ini juga mengakui bahwa orang tuanya menjadi salah satu motivasi untuk bangkit dan membangkitkan mental juaranya.
"Saya gagal karena kurang persiapan, kurang mempelajari medan. Kalau saya tidak punya mental, saya tidak akan juara sekarang," katanya.
Kini Dean sepertinya sudah jatuh hati untuk mendalami bidang kimia. Ia berencana melanjutkan studinya di universitas di Singapura untuk mewujudkan cita-citanya dimasa depan.
"Cita-cita saya mau jadi pengusaha, membuat pabrik kaitannya dengan kimia," pungkas Dean Fanggohans.
Kini Dean sepertinya sudah jatuh hati untuk mendalami bidang kimia. Ia berencana melanjutkan studinya di universitas di Singapura untuk mewujudkan cita-citanya dimasa depan.
"Cita-cita saya mau jadi pengusaha, membuat pabrik kaitannya dengan kimia," pungkas Dean Fanggohans.
Pewarta: FB Anggoro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017