Jakarta (ANTARA News) - Majelis hakim hanya menggunakan keterangan anggota Komisi II DPR dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani saat bersaksi di persidangan dan bukan keterangan Miryam dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di tingkat penyidikan tindak pidana korupsi KTP-Elektronik sebagai alat bukti dalam pengadilan perkara tersebut sehubungan dengan pencabutan BAP Miryam.

"Sehubungan dicabutnya BAP Miryam S Haryani di penyidikan dan keterangannya dalam BAP itu masih dipergunakan sebagai dasar penyusunan tuntutan oleh jaksa penuntut umum, menimbang BAP penyidikan pada hakikatnya hanya pedoman untuk memeriksa dan mengadili perkara bukan alat bukti maka keterangan saksi yang sah adalah keterangan di persidangan," kata ketua majelis hakim Jhon Halasan Butarbutar.

"Menimbang hal itu, keterangan Miryam yang digunakan sebagai alat bukti adalah keterangan yang digunakan di persidangan," katanya dalam sidang pembacaan vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis.

Dalam tuntutannya, jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa pencabutan BAP Miryam tanpa disertai alasan yang sah dan logis.

Jaksa menyatakan bahwa alasan pencabutan BAP yang disampaikan Miryam dalam sidang 23 Maret, di antaranya karena adanya tekanan dari penyidik, telah terbantahkan pada sidang 30 Maret oleh keterangan penyidik KPK Ambarita Damanik, M.I Susanto dan Novel Baswedan, serta video berupa rekaman pemeriksaan Miryam dan tulisan tangan Miryam yang pada pokoknya mengenai perbuatannya mendistribusikan uang ke anggota Komisi II DPR.

Miryam saat ini sudah ditetapkan menjadi terdakwa yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar berdasarkan pasal 22 jo pasal 35 ayat 1 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU no 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.


(Baca juga: Miryam bantah berikan keterangan palsu)

Majelis hakim yang terdiri dari Jhon Halasan Butarbutar, Frangki Tumbuwun, Emilia, Anwar dan Ansyori Saifudin dalam perkara ini telah memvonis mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman dengan hukuman tujuh tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan ditambah kewajiban membayar denda 500 ribu dolar AS dikurangi 300 ribu dolar AS dan Rp50 juta subsider dua tahun kurungan.

Sedangkan terhadap mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri Sugiharto, hakim menjatuhkan hukuman lima tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider satu bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti 50 ribu dolar AS dikurangi pengembalian 30 ribu dolar AS dan Rp150 juta subsider satu tahun kurungan.

Hakim Ansyori menjelaskan hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang sedang gencar-gencarnya memberantas koruspi dan korupsi e-KTP sangat merugikan negara dan masyarakat karena e-KTP adalah program yang strategis dan penting.

"Akibat perbuatan terdakwa yang bersifat masif, menyangkut kedaulatan pengelolaan data kependudukan nasional dan dampak perbuatan para terdakwa masih dirasakan sampai saat ini dengan banyaknya masyarakat yang belum mendapatkan e-KTP; perbuatan terdakwa menyebabkan kerugian keuangan negara yang sangat besar," tambah hakim Ansyori.


Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017