Jakarta (ANTARA News) - Pergaulan internasional tidak terhindarkan dalam era global, hubungan antarnegara menjadi penting, dan menimbulkan dampak hukum, sehingga perlu aturan, agar tak terjadi sengketa. Oleh karena itulah kesepakatan dan pranata hukum yang menjadi landasan dalam melaksanakan hubungan itu perlu ada, misalnya mengenai perjanjian ekstradisi. Gagasan membentuk perjanjian ekstradisi di kawasan ASEAN, sebenarnya sudah ada sejak "Declaration of ASEAN Concord" tahun 1976 atau yang dikenal dengan "Bali Concord I". "Gagasan untuk membentuk perjanjian ekstradisi ASEAN merupakan suatu kebutuhan untuk meningkatkan kerjasama mengatasi kejahatan transnasional," kata Direktur Politik Keamanan ASEAN pada Ditjen Kerjasama ASEAN Deplu, Dwi K. I Mifftach. Saat berbicara pada seminar "Kebijakan Nasional Dalam Pembentukan Perjanjian Ekstradisi ASEAN" di Jakarta awal pekan ini, Dwi mengatakan gagasan tersebut menjadi perhatian para Kepala Negara /Kepala Pemerintahan negara negara ASEAN pertama kali tahun 1976 yang tertuang dalam Declaration of ASEAN Concord. Dalam berbagai pertemuan gagasan itu terus menjadi perhatian bahkan pada pertemuan tingkat menteri ASEAN ke-4 soal Kejahatan Transnasional, di Bangkok 8 Januari 2004, ASEAN menegaskan lagi untuk memperkuat kerjasama di bidang hukum yang menekankan pada pengaturan tentang ekstradisi. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional(BPHN) Prof Dr H Ahmad M Ramli mengatakan, upaya merealisasikan perjanjian ekstradisi ASEAN sejalan dengan komitmen dalam dokumen-dokumen PBB antara lain Konvensi PBB Melawan Organisasi Kejahatan Transnasional(UNTOC). Sesuai Seminar "Kebijakan Nasional Dalam Pembentukan Perjanjian Ekstradisi ASEAN" antara lain menghasilkan rumusan bahwa perjanjian ekstradisi ASEAN hendaknya sesuai dengan asas ekstradisi yang baku diterima oleh masyarakat internasional serta selaras dengan kaidah pranata hukum ekstradisi yang merupakan manifestasi dari penghormatan terhadap HAM. Ahmad M Ramli, yang juga ketua tim perumus seminar itu mengatakan, hasil seminar tersebut merupakan rekomendasi yang akan dibawa delegasi RI dalam pertemuan "Working Group On Extradition Treaty" (Kelompok Kerja Perjanjian Ekstradisi) di Bali pada 21-23 Juni 2007. Kelompok kerja itu dibentuk dalam pertemuan ASLOM ke-11, di Siem Reap, Kamboja 29-30 Januari 2007. Hasil pertemuan kelompok kerja di Bali itu kelak bakal disampaikan dalam Konferensi Koordinasi Masyarakat Keamanan ASEAN (ASCCO)untuk mendorong perwujudan perjanjian ekstradisi ASEAN Pemberantasan kejahatan transnasional di suatu kawasan tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri, melainkan perlu upaya meyakinkan negara-negara anggota ASEAN. Perjanjian ekstradisi ASEAN yang akan dibentuk harus mampu merumuskan dan menerjemahkan serta menjembatani perbedaan perbedaan sistem hukum yang dianut oleh negara anggota ASEAN. "Posisi Indonesia adalah sebagai negara yang ingin agar `extradition treaty` di kawasan ASEAN dapat segera terwujud," kata Ahmad M Ramli. Ia menjelaskan ekstradisi sebagai suatu pranata hukum memang sudah dikenal sejak lama, asas-asas dan kaidah-kaidah hukumnya sudah diakui dan diterima serta dipraktekkan secara luas di seluruh dunia dengan berbagai variasinya. Banyak negara yang telah membuat perjanjian ekstradisi, baik bilateral, multilateral ataupun regional. Indonesia sudah memiliki tujuh perjanjian bilateral soal ekstradisi, yakni perjanjian ekstradisi dengan Malaysia yang diratifikasi dengan UU no 9 tahun 1974, dengan Filipina diratifikasi dengan UU no 10 tahun 1976, dengan Thailand diratifikasi dengan UU no 2 tahun 1978. Kemudian, Indonesia menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Australia diratifikasi dengan UU no 8 tahun 1994, dengan Hongkong diratifikasi dengan UU no 1 tahun 2001, dengan Korea Selatan ditandatangani tahun 2001, dan dengan Singapura ditandatangani tanggal 27 April 2007. Sementara itu Dirjen Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Depkum dan HAM, Dr Syamsudin Manan Sinaga, Indonesia belum pernah menandatangani perjanjian ekstradisi secara multilateral.(*)

Oleh Oleh Agus Prsetyo
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007