Kami merasa bahwa misi itu hanya bisa memperparah situasi di lapangan."
Yangoon (ANTARA News) - Penasehat keamanan pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi kepada diplomat di Yangoon, Selasa menegaskan bahwa misi PBB untuk menyelidiki dugaan penyiksaan, pembunuhan dan pemerkosaan terhadap warga Muslim Rohingya hanya akan memperburuk situasi di negara bagian Rakhine.
Myanmar menolak mengeluarkan visa bagi tiga orang utusan PBB pada Mei lalu untuk menyelidiki adanya dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak militer, lapor Reuters.
Minggu lalu, duta besar AS untuk PBB di New York, Nikki Haley mengimbau Myanmar agar menerima utusan tersebut, sesuai dengan mandat resolusi Dewan Hak Azasi Manusia.
"Kami tidak menyetujui keputusan tersebut karena menurut kami hal itu kurang konstruktif," kata Penasehat Keamanan Nasional Thaung Tun saat berbicara dengan pejabat dan diplomat PBB, termasuk Duta Besar AS untuk Myanmar Scot Marciel.
Keputusan negara lain, termasuk China dan India, yang mendukung Myanmar menghadapi resolusi tersebut, "adalah sikap mempertahankan prinsip", kata Thaung Tun.
"Kami merasa bahwa misi itu hanya bisa memperparah situasi di lapangan," katanya.
Selama ini, kewarganegaraan Rohingya tidak diakui dan dikelompokkan sebagai imigran gelap asal Bangladesh, meski mereka sudah memiliki akar berabad-abad di wilayah tersebut.
Mereka sebagai minoritas dengan jumlah sekitar satu juta orang menjadi terpinggirkan dan tidak jarang mengalami kekerasan komunal.
Pemerintah Myanmar membantah telah melakukan kekerasan, namun tidak berbuat banyak untuk meningkatkan kehidupan masyarakat Rohingya.
Uni Eropa mengusulkan penyelidikan setelah Komisi Tinggi untuk Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa operasi militer di bagian utara negara bagian Rakhine -di mana kebanyakan orang berada Rohingya- telah melakukan kejahatan kemanusiaan.
Pasukan menyisir ke desa-desa setelah militan Rohingya menewaskan sembilan polisi dalam serangan di pos perbatasan pada Oktober lalu.
Operasi tersebut membuat sekitar 75.000 melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh.
Reuters termasuk media internasional yang dikawal ke daerah tersebut pekan lalu dalam sebuah reportase yang diawasi ketat oleh aparat keamanan.
Wanita Rohingya mengatakan kepada wartawan bahwa suami dan anak laki-laki ditahan secara sewenang-wenang ditahan dan dibunuh oleh pasukan keamanan.
Namun pemerintah Myanmar membantah tuduhan tersebut dan mengatakan bahwa sebagian sebagian besar laporan tersebut adalah mengada-ada.
Ditegaskan bahwa sebuah komisi yang dipimpin oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan hanya bertugas untuk mengamati masalah yang ada di negara bagian Rakhine, tapi tidak ditugaskan untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia.
Thaung Tun mengatakan pemerintah sudah mulai menerapkan rekomendasi sementara panel diusulkan pada Maret lalu, termasuk mengenai menutup kamp-kamp yang dihuni lebih dari 120.000 warga Rohingya yang menjadi korban kekerasan komunal sejak lima tahun lalu.
(Uu.A032)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017