Jakarta (ANTARA News) - Mendukung resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB 1717 mengenai pengembangan nuklir Iran memang tidak bisa dielakkan oleh Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK Persatuan Bangsa-Bangsa itu. "Indonesia adalah anggota tidak tetap DK PBB. Karena itu, mau tidak mau, harus mendukung resolusi itu. Kalau tidak Indonesia harus keluar dari DK PBB," kata pengamat politik dari Fisip UI Arbi Sanit dalam dialektika demokrasi di Gedung DPR/MPR Jakarta, Jumat. Arbi mengemukakan, ada kepentingan rasional di balik dukungan Indonesia terhadap resolusi DK PBB. Dukungan pemerintah itu juga riil karena mengingat posisi Indonesia yang ikut serta dalam DK PBB. Jika Indonesia menolak resolusi itu, maka keberadannya di DK PBB akan dipersoalkan, bahkan Indonesia harus keluar. "Kepentingan apalagi kalau bukan pertimbangan rasional. Kalau soal minyak, Iran juga mengimpor. Karena itu, keputusan pemerintah Indonesia mendukung resolusi DK PBB itu rasional," katanya. Menurut Arbi, hak interpelasi bisa diloloskan DPR ke tingkat rapat paripurna karena adanya tekanan yang kuat dari publik, khususnya dari masyarakat muslim. Dalam kaitan ini, partai-partai menyanggupi desakan atau tekanan itu karena adanya kepentingan politik menghadapi Pemilu 2009. Namun Arbi sependapat bila Presiden yang langsung menjawab hak interpelasi itu dan datang langsung ke DPR, tanpa mewakilkan kepada menteri-menterinya. Hanya saja dalam menghadirkan Presiden, DPR harus memperjelas posisi hak interpelasi itu. "Kehadiran Presiden itu dalam sistem presidensial atau sistem parlementer. Kalau DPR menerapkan sistem parlementer, maka hak interpelasi itu bisa berimplikasi lebih luas," katanya. Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR sepekat memanggil Presiden pada 5 Juni 2007 untuk menjawab hak interpelasi terkait dukungan terhadap resolusi DK PBB mengenai pengembangan nuklir Iran.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007