Jakarta (Antara) -- Kondisi Timur Tengah sedang memanas pasca pemutusan diplomatik sejumlah negara Arab dengan Qatar. Meskipun demikian, hal ini diproyeksikan tidak akan berimbas perang. Hal ini disampaikan oleh Direktur Pusat Kajian Timur Tendah dan Islam Universitas Indonesia (PKTTI UI) Dr. Abdul Muta'ali dalam wawancara yang berlangsung di Universitas Indonesia, Depok, Rabu (12/7).

"Saya kira tidak akan berlanjut pada agresi militer seperti Arab Springs karena harganya terlalu mahal," ujar Abdul.

Selain biaya yang harus dikeluarkan pastilah sangat besar, permasalahan internal dalam negeri yang tengah dihadapi Arab Saudi juga merupakan faktor yang mencegah terjadinya agresi militer terhadap Qatar.

Dalam analisanya, Abdul berpandangan bahwa pergantian putra mahkota kerajaan yakni Muhammed bin Salman bin Abdul Aziz sebagai Putra Mahkota yang seharusnya adalah Muhammed bin Nayef, anak dari Nayef bin Abdul Aziz atau saudara Raja Salman bin Abdul Aziz berdasarkan tradisi Arab Saudi masih menjadi kontroversi.

"Dalam kebijakan ini, Raja Salman bin Abdul Aziz keluar dari tradisi dinasti yang lazim digunakan kerajaan. Hal ini memiliki konsekuensi tersendiri yang nantinya dimungkinkan menjadi pemantik konflik politik keluarga kerajaan," lanjut Abdul.

Alasan selanjutnya yakni ekonomi Arab Saudi tengah mengalami kemunduran. Hal ini dapat dilihat dari perubahan sistem penggajian dari sistem Hijriyah ke sistem Masehi. Pemerintah menghemat anggaran sebulan dalam satu tahun karena perhitungan Hijriyah yang dirasa lebih cepat dan sedikit bilangan harinya.

Faktor lainnya adalah dilelangnya saham Aramco hingga 5 persen. Saham penjualan terbesar melebihi saham Ali Baba ini nantinya tidak akan dinikmati oleh Arab Saudi saja akibat power sharing. Selain itu, di tahun 2015, 2016 penghasilan Saudi Airlines ditutup untuk menutupi APBN 2017 akibat perang dengan Yaman.

"Perang tidak hanya untuk mengkotasi sebuah kekuatan tapi juga mengurangi kekayaan," tutup Abdul.

Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2017