Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mengajukan permohonan uji materi pasal 79 ayat (3) Undang-Undang No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang mengatur tentang hak angket DPR ke Mahkamah Konstitusi.
"Hari ini sejumlah pegawai KPK akan ke MK untuk menguji konstitusionalitas aturan yang menjadi dasar hukum angket terhadap KPK," kata Harun Al Rasyid, salah satu pegawai KPK yang mengajukan permohonan uji materi pasal itu, di Jakarta, Kamis.
"Dari pendapat sejumlah ahli hukum tata negara yang sudah kami pelajari, kami yakin hak angket tidak dapat digunakan untuk lembaga independen seperti KPK apalagi dalam sejumlah putusan MK ditegaskan posisi KPK dan landasan konstitusional KPK yang menurut kami bukan termasuk ruang lingkup pemerintah," ia menjelaskan.
Harun, yang juga Ketua II Wadah Pegawai KPK, berharap sebagai lembaga pengawal konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK) bisa memberikan keputusan yang adil dan proporsional agar dapat menghentikan kesemrawutan penggunaan kewenangan oleh lembaga.
"Dalam pelaksanaan tugas sebagai pegawai KPK, sulit memisahkan peristiwa angket DPR terhadap KPK ini dengan penanganan kasus KTP-Elektronik yang sedang berjalan. Apalagi asal mula Hak Angket dibicarakan adalah ketika KPK menolak memutar rekaman pemeriksaan Miryam S. Haryani di DPR," tambah Harun.
Pasal 79 ayat (3) UU No.17 Tahun 2014 berbunyi: Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Penggunaan hak angket DPR terhadap KPK berdasarkan penafsiran ketentuan pasal 79 ayat (3) undang-undang No.17 Tahun 2014 telah keliru dan bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menurut pegawai KPK yang mengajukan permohonan uji materi.
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan "Indonesia adalah Negara Hukum", dalam konteks tersebut maka pembatasan kekuasaan dan supremasi hukum merupakan syarat yang harus dipenuhi.
Berdasarkan pada hal itu, pegawai KPK menilai penggunaan hak angket DPR terhadap KPK merupakan bentuk penerobosan terhadap batasan kekuasaan yang telah digariskan oleh undang-undang yaitu KUHAP, undang-undang KPK dan undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah menentukan pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai lembaga yang berwenang menguji benar atau tidaknya terjadi suatu tindak pidana korupsi.
"Demikian pula semua keberatan terhadap tindakan yang dilakukan oleh KPK dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan maka lembaga praperadilan dan pengadilan merupakan badan yang ditunjuk untuk menguji segala tindakan KPK tersebut," tambah Harun.
Pemeriksaan lewat angket DPR terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK, menurut para pemohon, telah mengambil alih fungsi dan kewenangan cabang kekuasaan yudisial dan pada saat yang sama hak angket terhadap KPK dapat mengancam independensi penegakan hukum dan berpotensi mengganggu penegakan hukum yang seharusnya dikedepankan sebagai pemenuhan atas prinsip pembatasan kekuasaan dan supremasi hukum.
Pemohon juga menilai rumusan pasal 79 ayat (3) UU No 17 Tahun 2014 telah menimbulkan berbagai penafsiran sehingga memberikan peluang bagi DPR untuk menafsirkan secara keliru ketentuan pasal tersebut, sehingga rumusan pasal 79 ayat (3) bertentangan dengan asas kejelasan rumusan dan kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
"Ini adalah ikhtiar kami, sebagai bagian dari pegawai KPK untuk meluruskan penggunaan kewenangan DPR sekaligus membela pemberantasan korupsi yang terus menerus diserang dari berbagai sisi oleh pihak yang dirugikan dengn kerja kami," tegas Harun.
Permohonan uji materi akan disampaikan ke MK pada Kamis sekitar pukul 12.30 WIB.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017