Asiyah dan suaminya, Absir, adalah TKI yang bekerja di Johor, Malaysia. Asal mereka dari Kecamatan Maron, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur.
"Pekerjaaannya saya mengecat. Datang ke Malaysia baru tiga bulan. Awalnya kerja di restoran. Kerja saya teruk (keras). Suami bilang disuruh kerja di sini. Kerja ngecat," kata Asiyah saat diajak ngobrol bersama Antara, suatu sore di bulan puasa lalu.
Sang suami, Absir, sudah lama berada di Malaysia. Dia TKI legal karena memiliki permit atau izin kerja, sedangkan si istri yang baru menyusul ke Malaysia selama tiga bulan dan belum memiliki izin kerja.
"Abang sudah beberapa tahun lalu ke Malaysia, saya menyusul. Saya nggak ada permit, abang ada permit. Tetapi abang masih berusaha agar saya dapat permit. Paspor ada, masuk resmi-lah," kata Asiyah dengan logat Bahasa Melayu.
Kedua TKI legal dan ilegal ini bisa dikatakan termasuk TKI sukses karena berkat jerih payahnya berhasil menguliahkan anaknya di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Daerah Istimewa Yogjakarta.
Anak pertama mengambil jurusan hukum. Anak kedua mengambil jurusan bilogi. Anak pertama sempat gagal mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri (PTN) namun kemudian ikut tes lagi pada tahun berikutnya dan berhasil tembus UIN.
"Dua anak saya kuliah di UIN. Yang sulung mau wisuda, yang nomer dua semester dua. Laki-laki semua. Saya kerja disini untuk membantu biaya anak sekolah. Kalau untuk kerja kuli tidak cukup untuk biaya dua orang anak," katanya.
Pasangan ini tidak mendidik langsung anak-anaknya karena sejak Sekolah Dasar (SD) anaknya dipondokkan ke Pesantren Zainul Hasan, Genggong atau lebih dikenal dengan sebutan Pondok Genggong.
Pesantren yang berlokasi Karangbong, Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur, ini dibangun pada tahun 1839 Masehi oleh Almarhum Syekh Zainul Abidin dari keturunan Maghribi, Maroko Afrika.
Tentang pekerjaannya sendiri, Asiyah mengaku mendapatkan upah 40 Ringgit Malaysia (RM) atau sekitar Rp124.500 per hari untuk kerja antara jam 08.00 hingga 17.00 dengan waktu istirahat satu jam. Sedangkan gaji suaminya dia tidak menyebutkan.
Demi anaknya kedua pasangan ini juga rela tinggal di kongsi yang terbuat dari kontainer bersama sejumlah TKI lain yang disediakan Pembinaan Mitrajaya Sdn BHD.
Kongsi biasa digunakan untuk menyebut tempat tinggal TKI di Malaysia. Selain kontainer ada yang berupa rumah panggung dari kayu.
Jangan dibandingkan dengan kondominium, apartemen atau flat yang banyak bertebaran di Malaysia, kongsi sangat sederhana bahkan ada yang berada di pinggir kebun kelapa sawit. Sewaktu-waktu juga sering didatangi polisi Malaysia. Namun mereka mempunyai cara sendiri untuk menyelesaikannya.
Untuk membiayai kuliah kedua anaknya, mereka harus berjuang menyisihkan Rp5 juta per bulan untuk keperluan kuliah dan makan di kota gudeg Yogjakarta.
Ulet dan Taati Aturan
Kehidupan TKI di Malaysia memang beragam. Ada yang sukses seperti pasangan Absir dan Asiyah. Namun ada juga yang hasil jerih payahnya selama di negeri jiran tidak dimaksimalkan secara produktif dan bermanfaat.
"Yang penting ulet, tekun dan tidak menyalahi aturan. Semua profesi akan sukses termasuk para TKI yang bekerja di negeri jiran," ujar profesional asal Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Ghazi, yang sudah puluhan tahun tinggal di Kuala Lumpur.
Ghazi yang juga alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya yang saat itu masih IAIN, menekuni multi level marketing (MLM), sedangkan istrinya wanita asal Kediri sudah menyandang IC merah atau permanent resident (penduduk tetap) Malaysia.
Banyak para WNI yang sudah memiliki IC (identity card) merah sukses menyekolahkan anak-anaknya bahkan membantu pembangunan kampung tempat asalnya di Indonesia.
Ruksan yang sehari-hari berjualan Soto Lamongan dan masakan Indonesia bersama istrinya di dekat Quill Mall Jalan Tuanku Abdul Rahman termasuk juga pria yang sukses menyekolahkan anaknya.
Pria ber-IC merah asal Kabupaten Gresik ini anaknya sudah kuliah di UIN Sunan Ampel Surabaya dan ada yang menjadi santri di Pondok Pesantren Sunan Drajat, Lamongan.
Demikian halnya dengan Fauzi, pria asal Lamongan yang juga pengurus Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia ini sukses menyekolahkan anak-anaknya di antaranya ada yang menjadi santri di Pondok Pesantren Darussalam, Gontor, Kabupaten Ponorogo.
Bagi Atase Tenaga Kerja KBRI Kuala Lumpur, Mustafa Kamal, yang terpenting para TKI ulet dan mengikuti aturan yang berlaku.
"Dulu sekitar tempat ini gersang belum ada apa-apa. Sekarang berkat bapak ibu semua telah berdiri megah sekolah ini," ujar Mustafa Kamal mengawali pengarahan tentang aturan-aturan ketenagakerjaan kepada para TKI di Raffles American School.
Dihadapan para TKI termasuk pasangan Absir dan Asiyah, Mustafa mengharapkan agar para TKI mengikuti aturan di negara tempat mereka bekerja sebagaimana peribahasa mengatakan "dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung".
Dia juga tidak segan-segan akan menegur majikan dan agen manakala hak-hak para TKI tidak terpenuhi.
Kepala Perlindungan WNI KBRI Kuala Lumpur, Yusron B Ambary, meminta kepada para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) memiliki izin kerja dan dokumen-dokumen keimigrasian sehingga bisa bekerja di Malaysia dengan lancar.
"Harapan kami agar para TKI tidak menganggap remeh ancaman dari pemerintah Malaysia dalam melakukan razia E-Kad (kartu identitas sementara TKI ilegal), karena itu supaya hati-hati di jalan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan bersama," katanya.
Atase Politik KBRI Kuala Lumpur, Agung Cahya Sumirat mengharapkan para TKI tekun bekerja dan mengikuti aturan yang berlaku serta tidak terbujuk rayuan propaganda teroris seperti ISIS yang mengiming-imingi penghasilan yang lebih besar.
Oleh Agus Setiawan
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017