... seyogyanya tradisi halal bi halal menjadi obat berbagai penyakit psikis.

Idul Fitri tahun 1438 Hijriah memiliki makna yang dalam.

Pasca-Idul Fitri kali ini ada momentum "recovery" atau pemulihan, karena bertepatan dengan selesainya sejumlah pemilihan kepala daerah langsung, termasuk Pilkada di DKI Jakarta.

Tanpa mengabaikan Pilkada di sejumlah daerah di Tanah Air lainnya,maka Pilkada DKI memiliki dampak luar biasa, karena eksesnya bukan hanya dirasakan warga Jakarta, melainkan juga oleh masyarakat di luar Jakarta. Begitu luar biasanya, sehingga banyak energi bangsa "tersedot" ke sana.

Bukan hanya "kampanye hitam", namun cerai-berainya jalinan persaudaraan antarsesama anak bangsa juga menjadi taruhan. Tiba-tiba, bangunan negara bangsa (nation state) yang berlandas-tumpu pada keanekaragaman nyaris terkoyak.

Antaranak bangsa seperti menebar kebencian pada sesama dengan berbagai bentuk fitnah, adu domba, dan provokasi. Saling tidak percaya menyeruak menjadi cara pandang dan cara bersikap banyak orang.

Media sosial ikut berpartisipasi dalam semakin masifnya ajakan kebencian tersebut. Kabar bohong (hoax) bertebaran silih berganti mewarnai wajah media sosial kita hari-hari itu. Bagai viral, hoax sambung-menyambung menjadi berita yang "mutawatir" kebohongannya.

Tak heran jika karena ini orang tiba-tiba menjadi pribadi yang mudah mencaci anak bangsa sendiri, meski sebagian besar belum pernah tahu orang yang dicaci tersebut. Dasarnya lagi-lagi adalah hoax itu.

Pilkada DKI, dengan demikian, telah menyulut dan mengakibatkan "luka dalam" bagi sesama. Di tengah gegap gempitanya. Pilkada DKI secara faktual telah mengakibatkan banyak "orang sakit".

Para pendukung yang kalah ataupun yang menang nyatanya telah mengalami luka selama perang urat syaraf selama hampir satu tahun lamanya. Pilkada DKI nyatanya telah menyisakan masalah serius berupa luka psikis dan sakit hati yang tiada tara.

Jika ini dibiarkan, maka besar kemungkinan di masa yang akan datang akan tumbuh penyakit kronis yang bahkan kemungkinan akan bisa membunuh bangsa Indonesia sendiri.

Sakit psikis

Sakit psikis, sebagai mana saya sebutkan di muka berbeda dengan sakit fisik. Sakit fisik dirasakan secara jelas, seperti kepala atau sakit jantung, liver atau yang lainnya. Orang yang sakit fisik akan merasakan sendiri perihnya rasa sakit.

Namun, sakit psikis tidak kelihatan, tetapi memiliki dampak pada manusia yang "liyan" (orang lain). Yang tampak ketika orang yang terjangkit penyakit psikis, menurut al-Ghazali, tetap wajah orang-orang pada umumnya.

Jika berkumpul di tengah suatu komunitas, mereka tampak seperti orang-orang yang sehat. Mereka juga membicarakan hal-hal yang logis menurut ukuran rasio mereka.

Hanya bedanya, ada sesuatu yang kurang dalam nurani mereka. Nurani mereka telah mati. Akibatnya mereka mudah tersulut oleh "kabar-burung" yang bersendikan pada perbedaan suku, agama, ras dan aliran.

Mereka mudah mendengki dengan sesuatu yang didapatkan oleh komunitas yang kebetulan berbeda dengan mereka. Padahal, orang yang menjadi sasaran kedengkian bisa mencapai prestasi yang bagus berkat kerja keras, dedikasi, dan pengorbanan tinggi.

Al-Ghazali (tt) menyebutnya dengan sifat hasud (iri hati). Atas sifat hasud ini, mereka juga mudah untuk melakukan pembunuhan karakter antarsesama, terutama yang kebetulan berbeda dengan mereka. Dalam berbagai forum, dikembangkan kebencian dan balas dendam pada sesama.

Disparitas semakin dibuat menjadi jurang yang menganga lebar atas dasar perbedaan kecil yang sejak dulu memang sudah ada, namun dibesar-besarkan untuk kepentingan pragmatis politik dalam Pilkada DKI. Sisa rasa sakit ini masih terus dirasa, meski Pilkada sudah selesai beberapa bulan yang silam.

Ironisnya, luka ini semakin dalam karena mereka berkutat dengan komunitas yang eksklusif. Semakin dibiarkan ia semakin besar. Obat medis tidak akan bisa menyembuhkannya. Hanya obat spritual yang bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan serta menyembuhkan penyakit ini.

Obat spritual itu adalah dengan tradisi "halal bi halal" dalam momentum Idul Fitri. Dalam obat ini, terkandung minimal dua macam isi, yakni ajakan silaturahim dan saling memaafkan. Dengan obat ini, berbagai penyakit psikis umat akan terobati.

Perayaan Halal bi Halal di Hari Raya IdulFitri 1438 Hijriah adalah momentum yang tepat untuk mengobati sakit psikis.

Dengan nilai agung ajakan silaturahim dan semangat rekonsiliasi (memaafkan), seyogyanya tradisi halal bi halal menjadi obat berbagai penyakit psikis.

Terakhir, tapi bukan yang akhir (last but not least), pasca "bersalam-salaman" dalam halal bi halal, hubungan yang pernah terkoyak karena Pilkada DKI Jakarta akan menjadi normal kembali. Manusia-manusia menjadi fitri kembali dengan jalinan rekonsiliasi.

Dengan kata lain, perayaan halal bi halal ini menegaskan bahwa yang lalu biarlah berlalu. Kebencian harus dihentikan. Balas dendam harus ditiadakan. Provokasi harus juga distop secepat mungkin.

Itulah yang menjadi fokus dan tujuan halal bi halal dalam merayarakan Hari Kemenangan, sehingga yang ada adalah lembar yang bersih dari noda setelah hari saling memaafkan dan mengikhlaskan satu sama lain.

Sebaliknya, Pilkada DKI dalam konteks ini menjadi pembelajaran politik yang sangat mahal bagi umat. Pembelajaran yang juga kian mendewasakan umat, yakni bahwa Pilkada tidak lebih sebagai kompetisi meraih yang terbaik dalam pertandingan.

Strategi apa saja boleh digunakan, namun satu hal bahwa semua itu tidak boleh menghancurkan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Semua harus dalam koridor dari dan untuk persaudaran sesama anak bangsa. Prinsip ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan sesama anak bangsa) seperti diusulkan KH. Achmad Shidiq, Rois Am PBNU 1985--1989, seyogianya menjadi pegangan dan pedoman bagi umat.

Kita pun lalu berdoa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa ini. Bangsa yang telah dirajut harmoninya oleh para pendiri negara (founding fathers) kita. Kohesi sosial adalah pilar yang sangat penting untuk titik pangkal meraih kemajuan dan kejayaan bangsa.

Musthofa al-Ghalayini (1996) dalam buku "Idlatun Nasyiin", menegaskan bahwa hanya mereka para pemimpin dan rakyatnya sinergis serta bahu-membahu dalam memajukan bangsa yang kelak negaranya menjadi maju, jaya dan diperhitungkan dunia.

Bukan bangsa yang "ribut" sendiri dan terjerumus dalam aksi balas dendam dan saling menyalahkan yang tidak berkesudahan. Selamat Hari Raya IdulFitri 1438 H. Mohon maaf lahir dan batin. Wallahu'alam.


*) Penulis adalah dosen Pascasarjana IAIN Jember dan Wakil Ketua Lembaga Talifwa an-Nasyr Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur.

Oleh MN Harisudin *)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017