"Perubahan besar yang mungkin kita lihat dengan jelas akan menjadi tantangan adaptasi besar bagi Sahel"
London (ANTARA News) - Salah satu wilayah terkering di Afrika, Sahel, bisa berubah menjadi lebih hijau jika suhu bumi menghangat lebih dari dua derajat Celcius dan memicu curah hujan lebih lebat, kata para ilmuwan pada hari Rabu.
Sahel membentang dari pantai ke pantai. Dari Mauritania dan Mali di barat sampai Sudan dan Eritrea di timur, menyusuri tepi selatan gurun Sahara. Kawasan ini menjadi rumah bagi lebih dari 100 juta orang.
Kawasan ini telah menyaksikan cuaca yang memburuk dalam beberapa tahun terakhir, termasuk kekeringan yang lebih sering.
Tetapi jika emisi gas rumah kaca terus berlanjut, pemanasan global yang dihasilkan dengan lebih dari dua derajat Celsius dapat mengubah pola cuaca utama di Sahel dan di berbagai belahan dunia, kata para ilmuwan.
Beberapa model cuaca memprediksi sedikit peningkatan curah hujan untuk Sahel. Namun ada risiko bahwa keseluruhan pola cuaca akan berubah pada akhir abad ini, kata peneliti di Institut Penelitian Dampak Cuaca Postdam (PIK).
"Ukuran sebenarnya dari perubahan yang mungkin terjadi sungguh luar biasa, ini adalah salah satu dari sedikit elemen dalam sistem Bumi yang mungkin akan kita saksikan sebentar lagi," kata salah satu penulis Anders Levermann dari PIK dan Observatorium Bumi Lamont-Doherty di Columbia Universitk.
Jika Sahel mengalami curah hujan lebih banyak, berarti lebih banyak air untuk pertanian, industri, dan kebutuhan rumah tangga. Namun dalam beberapa tahun pertama masa transisi, orang cenderung mengalami cuaca yang sangat tidak menentu seperti kekeringan ekstrim yang diikuti oleh banjir yang merusak, kata peneliti.
Tingkat ketidakpastian ini menyebabkan kesulitan bagi orang untuk merencanakan perubahan yang akan terjadi, kata mereka.
"Perubahan besar yang mungkin kita lihat dengan jelas akan menjadi tantangan adaptasi besar bagi Sahel," kata Levermann.
"Lebih dari 100 juta orang berpotensi terkena dampak yang sekarang menghadapi banyak ketidakstabilan, termasuk perang," katanya.
Wilayah ini menghadapi berbagai konflik, termasuk sejumlah aksi yang dipicu oleh kelompok seperti Boko Haram dan Alqaid di Maghreb.
Para peneliti mempelajari pola curah hujan pada Juli, Agustus dan September ketika kawasan ini menerima sebagian besar hujan tahunannya.
"Ada sejumlah hasil yang memungkinkan bagi masyarakat di Sahel yang bergantung pada iklim yang akhirnya (berkembang) ... dan apakah mereka siap menghadapi fluktuasi," kata penulis utama Jacob Schewe, dari PIK.
Perubahan iklim dari pembakaran bahan bakar fosil benar-benar memiliki kekuatan untuk mengguncang segalanya, katanya menambahkan.
"Hal ini menyebabkan risiko untuk hasil panen di banyak daerah dan umumnya meningkatkan cuaca berbahaya di seluruh dunia," katanya.
Penelitian ini diterbitkan pada Rabu di "Earth System Dynamics", sebuah jurnal dari European Geosciences Union. Demikian yang dilansir Thomson Reuters Foundation.
(Uu.SYS/A/R029/A/M016)
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2017