Profesor Iskandar Zulkarnain, sosok yang tak asing dalam dunia riset di Tanah Air, terutama ketika menjabat Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 17 Oktober 2014.
Jejak kehidupannya mencatat jebolan Doktor reralium naturalium (Dr. Rer.nat) dari The Johannes Gutenberg Universitaet Jerman itu dikenal sebagai peneliti geokimia batuan selama lebih dari 20 tahun.
Ia mengembuskan nafas terakhir pada Minggu (2/7). Pria kelahiran Cirebon, 14 April 1959 itu, berpulang pada usia 58 tahun dengan meninggalkan satu istri dan tiga anak.
Pria asal Kenagarian Simpang Tonang, Kecamatan Dua Koto, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat tersebut, merupakan anak tunggal dari pasangan M. Loebis dan Nurbaya.
Bapaknya, almarhum Loebis seorang polisi dengan idealisme tinggi yang pensiun dengan pangkat kapten. Iskandar sejak kecil dididik dengan pola hidup sederhana dan mencintai kampung halamannya.
Sedari dini, Iskandar mendapatkan pendidikan kedisiplinan. Ia tidak akan berani meminta sesuatu kepada orang tua kecuali hal mendesak dan merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan.
Kehidupannya jauh dari kesan mewah yang diturunkan dari ayahnya. Selepas pensiun dari kepolisian, ayahnya sempat menjabat sebagai anggota DPRD Pasaman. Namun, hal itu tak mengubah hidup mereka menjadi glamor.
Ibunya pernah bercerita, sewaktu sekolah, Iskandar mendapatkan prestasi di sekolah lalu orang tuanya mengajaknya ke pasar untuk membeli hadiah.
Namun Iskandar kecil menolak hadiah tersebut, karena belajar dan meraih hasil yang bagus merupakan kewajibannya sebagai seorang pelajar.
Dari hasil didikan itu, idealisme tinggi lahir dalam dirinya, dengan ungkapannya yang antara lain mengatakan sesuatu yang benar adalah benar dan yang salah itu salah.
Diceritakan seorang keluarganya, ketika dimintai tolong oleh keluarga dekatnya untuk membantu menjadi anggota polisi dengan iming-iming uang, Islandar menolak dengan tegas.
Ia mengatakan apabila anak itu ingin kuliah akan dibiayainya, namun apabila uang tersebut untuk masuk menjadi anggota polisi, ia menolak.
Ia pernah bercerita satu hal yang harus dimiliki oleh seorang peneliti, yakni kejujuran. Bagaimanapun kondisinya, kejujuran akan menjadi hal berharga di antara banyaknya tindakan yang dilakukan manusia.
Iskandar menghabiskan pendidikan dasarnya mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas di Kota Padang, Sumatera Barat yakni di Sekolah Don Bosco.
Kemudian ia melanjutkan pendidikan tinggi ke Institut Teknologi Bandung (ITB) dan tamat pada 1985.
Pada 1985, ia juga diterima sebagai peneliti oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia bidang geologi bebatuan. Kemudian menyelesaikan program Ph.D dengan gelar Doktor reralium naturalium dari The Johannes Gutenberg Universitaet, Jerman.
Dengan tegar ia jalani suka duka kehidupan sebagai mahasiswa di "Negeri Panser" tersebut bersama istrinya. Anak-anak mereka lahir dan berkembang di negeri yang terkenal dengan tembok Berlin tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Iskandar kembali ke Indonesia dan menetap di Kota Bandung untuk melanjutkan tugasnya sebagai peneliti. Pada 21 Agustus 2013, ia meraih gelar profesor riset di bidang geologi dan geofisika.
Sebelum menjabat sebagai kepala LIPI, ia menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi pada 2006 hingga 2011 dan diamanahkan menjadi Deputi Bidang Ilmu Kebumian LIPI sejak 2011 hingga 2014.
Demokratis
Di mata anaknya, Sarah Fitri, almarhum dipandang sebagai ayah yang selalu meletakan sesuatu pada tempatnya dan tidak pernah memaksakan kehendak.
Sarah mengatakan bapaknya selalu memiliki sudut pandang lain dari segala hal yang terjadi.
"Di saat semua orang memiliki pandangan yang negatif, papa pasti memiliki pandangan positif terhadap perosalan itu," katanya.
Dalam pekerjaan, ia terkenal sebagai seorang yang bersikap tegas. Namun, ia bersikap tegas karena memiliki dasar yang jelas.
Selain itu, meskipun sebagai kepala keluarga, Iskandar memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berpendapat. Apabila pendapat orang lain kuat, maka ia akan menerima.
Sementara itu, anak bungsu, Bram Agusta Zulkarnain, mengatakan orang tua itu figur yang sederhana dalam kehidupannya.
"Papa selalu mengajarkan anaknya untuk hidup sederhana, belilah apa yang kita butuh dan ia tidak akan memberikan apa yang diinginkan oleh anak-anaknya," kata dia.
Meskipun hidupnya berkecukupan, Iskandar selalu menekankan agar anak-anaknya tidak berfoya-foya.
Bram saat ini sedang menyelesaikan kuliahnya di antropologi Universitas Pajajaran. Orang tuanya melihat ia berminat menjadi seorang peneliti.
"Papa berpesan negara ini membutuhkan seorang peneliti, kalau negara ini mengabaikan riset dan penelitian maka negara ini tidak akan maju," kata dia.
Pesan yang paling ia ingat dari ayahnya itu, adalah jangan melakukan penelitian setengah-setengah tapi harus secara menyeluruh.
"Peneliti selain menemukan sesuatu yang baru juga harus bisa melanjutkan ke mana riset itu akan bawa," kata dia.
Cinta Kampung
Di kampung halamannya, Kenagarian Simpang Tonang Kecamatan Dua Koto, Kabupaten Pasaman, Iskandar memiliki gelar adat sebagai Rajo Barayun.
Di kenagarian itu hanya ada tiga rajo yakni Rajo Jaroken, Rajo Sutan Malin, dan Rajo Barayun. Ketiga raja tersebut di dalam adat berada di bawah pimpinan seorang raja, yakni Rajo Dubalang.
Iskandar merupakan pucuk pimpinan adat di wilayah untuk kaumnya. Gelar tersebut merupakan rasa cintanya yang besar terhadap kampung halamannya.
Meskipun sibuk sebagai seorang peneliti dan mengabdi untuk kepentingan bangsa, ia selalu menyempatkan setiap Idul Fitri untuk pulang ke kampung.
Ia mudik, baik melalui jalur darat yang memakan waktu dua hingga tiga hari, maupun dengan pesawat terbang.
Saat pulang kampung, ia selalu memboyong seluruh keluarganya, istri dan ketiga anak, agar anak-anaknya tetap mencintai kampung halamannya dan melanjutkan perjuangannya kelak.
Kini catatan kehidupannya profesor yang cinta kampung halaman itu telah berakhir. Selamat jalan Iskandar, jasamu kepada bangsa ini akan selalu dikenang.
Oleh Ikhwan Wahyudi
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017