"Rencana pemindahan ibukota pemerintahan dari Kumurket ke Ayamaro berpotensi menimbulkan konflik masyarakat," kata Maximus Air di Jakarta Rabu.
Maximus mengatakan mayoritas masyarakat Maybrat menolak pemindahan ibukota itu lantaran faktor nilai sejarah pemekaran Kabupaten Mayrat yang diinisiasi enam distrik.
Sekretaris Komisi B DPRD Kabupaten Maybrat itu mengingatkan Bupati terpilih Bernard agar tidak mengeluarkan kebijakan yang memprovokasi masyarakat sehingga berpotensi terjadi perang antarsuku.
Selain alasan sejarah, Maximus menuturkan penolakan pemindahan pemerintahan ibukota Maybrat itu terindikasi melanggar undang-undang berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI ditandatangani Gamawan Fauzi.
Mendagri RI Gamawan Fauzi menerbitkan Surat Nomor : 700/3783/SJ tertanggal 19 Juli 2013 tentang Hasil Pemeriksaan Khusus Pelanggaran dan Pembangunan terhadap Peraturan Perundangan-undangan oleh Bupati Maybrat.
Diungkapkan Maximus, awalnya Bupati Bernard sempat memindahkan Ibukota Maybrat dari Kumurket ke Ayamaro pada 2011.
Selanjutnya, Bernard divonis majelis hakim tindak pidana korupsi bersalah 1,5 tahun lantaran kasus korupsi hibah Kabupaten Sorong dan Provinsi Papua Barat 2011 senilai Rp15 miliar.
Wabup Maybrat yang menggantikan Bernard sebagai bupati mengembalikan ibukota pemerintahan dari Ayamaro ke Kumurket.
Setelah Bernard bebas dari hukuman terpilih menjadi Bupati Maybrat pada Pilkada 2017 berencana mengembalikan ibukota dari Kumurket ke Ayamaro.
Tokoh intelektual Aifat Sefnat Momao menduga kebijakan Bernard memindahkan ibukota pemerintah itu untuk kepentingan pribadi karena Ayamaro merupakan tempat kelahiran Bupati Maybrat terpilih.
"Kebijakan itu untuk memajukan tanah kelahiran beliau (Bernard)," ungkap Sefnat.
(T.T014/A029)
Pewarta: Taufik Ridwan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017