Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana memeriksa empat orang saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (e-KTP).
"Empat orang itu diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Andi Agustinus (AA)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu.
Empat saksi yang rencananya diperiksa itu, yakni Ketua Komisi VI DPR RI dari Fraksi PAN Teguh Juwarno, anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo, mantan Wakil Ketua Komisi II DPR RI Taufiq Effendi, dan anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Rindoko Dahono Wingit.
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum KPK terkait perkara KTP-E, empat orang itu juga disebut menerima aliran dana.
Dalam dakwaan disebut bahwa Teguh Juwarno yang saat itu sebagai Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PAN menerima sejumlah 167 ribu dolar AS terkait proyek KTP-E sebesar Rp5,95 triliun tersebut.
Sementara Arif Wibowo yang saat itu juga sebagai anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan menerima sejumlah 108 ribu dolar AS.
Selanjutnya Taufik Effendi yang saat itu sebagai Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat menerima sejumlah 103 ribu dolar AS.
Kemudian Rindoko Dahono Wingit yang saat itu sebagai Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Fraksi Partai Gerindra di Komisi II DPR RI menerima 37 ribu dolar AS.
Terdakwa dalam kasus ini adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto.
Irman sendiri sudah dituntut 7 tahun penjara sedangkan Sugiharto dituntut 5 tahun penjara.
KPK juga telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, mantan Anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, dan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golangan Karya Markus Nari sebagai tersangka dalam perkara tersebut.
Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Sementara Miryam S Haryani disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sedangkan Markus Nari disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017