Enggak karena dulu saya sudah pernah dikonfrontir, Pak Novel Baswedan yang konfrontir saya. Saya lega waktu dikonfrontir oleh Pak Novel waktu itu orang yang diceritakan memberi uang itu ternyata kalau Pak Ganjar tidak."

Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengaku bahwa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mengklarifikasi soal aliran dana proyek pengadaan KTP-elektronok (KTP-e) pada pemeriksaan terhadap dirinya.

KPK memeriksa Ganjar sebagai saksi untuk tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong dalam penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP-e).

"Enggak karena dulu saya sudah pernah dikonfrontir, Pak Novel Baswedan yang konfrontir saya. Saya lega waktu dikonfrontir oleh Pak Novel waktu itu orang yang diceritakan memberi uang itu ternyata kalau Pak Ganjar tidak," kata Ganjar seusai diperiksa KPK di gedung KPK, Jakarta, Selasa.

Terkait namanya yang tetap ada menerima aliran dana KTP-e dalam tuntutan dua terdakwa Irman dan Sugiharto, Ganjar menyatakan bahwa biar Majelis Hakim saja yang memutuskannya.

"Ya sekarang Majelis Hakim yang akan memutuskan kan terdakwanya sudah ada ya biar saya serahkan saja kepada hakim," tuturnya.

Selain itu, Ganjar pun membantah soal dirinya yang meminta jumlah lebih terkait aliran dana KTP-e karena sebelumnya jumlahnya terlalu kecil.

"Enggak kata siapa, ngarang itu," kata Ganjar.

Sebelumnya, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin mengatakan mantan Wakil Ketua Komisi II DPR dari fraksi PDI-Perjuangan Ganjar Pranowo menerima aliran dana sebesar 500 ribu dolar AS terkait proyek pengadaan KTP-E.

"Waktu itu saudara Andi Agustinus menyerahkan uang ke Mustoko Weni dan Ignatius Mulyono terus pimpinan Komisi II dipanggil ke ruang Mustoko Weni sambil berbicara, Pak Chaeruman waktu itu Ketua Komisi II yang dari Golkar, dari PAN ada, terus dari PDI-P ada, dari Demokrat, ada lagi satu Wakil Ketua menolak," kata Nazaruddin saat memberikan kesaksian dalam lanjutan sidang kasus proyek pengadaan KTP-E di Pengadilan Tipikor, Jakarta beberapa waktu lalu.

Nazaruddin mengaku bahwa yang menolak pada saat itu adalah Wakil Ketua Komisi II Ganjar Pranowo.

"Menolak, ribut karena waktu dikasih 150 ribu dolar AS tidak mau, dia minta sama yang dikasih dengan Ketua Komisi II," kata Nazaruddin.

"Ribut karena mau lebih?," tanya salah satu anggota Majelis Hakim.

"Iya yang mulia minta tambah, jadi dikasih sama dengan Ketua 500 ribu dolar AS. Setelah ribut itu dikasih 500 ribu dolar AS baru dia mau," jawab Nazaruddin.

"Itu kan pertemuan di ruang Mustoko Weni, ada beberapa pihak yang saudara sebutkan tadi ke sana, ada Chaeruman dan lain-lain. Sampai anda tahu cerita bagaimana, melihat dengan mata kepada sendiri?," tanya Hakim.

"Lihat yang mulia. Ada Chaeruman, Pak Ganjar yang 150 ribu dolar AS dia nolak, waktu itu ada diserahkan ke teman-teman dari Komisi II untuk anggota, terus yang diserahkan yang diamplop uuntuk semua Kapoksi terus untuk semua anggota Banggar, terus sama Wakil Ketua ada satu lagi itu nerima juga," jawab Nazaruddin.

Dalam dakwaan disebut bahwa Ganjar yang saat itu sebagai Wakil Ketua Komisi II DPR dari fraksi PDI-Perjuangan menerima 520 ribu dolar AS terkait proyek KTP-e sebesar Rp5,95 triliun ini.

Terdakwa dalam kasus ini adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto.

Irman sendiri sudah dituntut 7 tahun penjara sedangkan Sugiharto dituntut 5 tahun penjara.

KPK juga telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus, mantan Anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, dan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golangan Karya Markus Nari sebagai tersangka dalam perkara tersebut.

Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Sementara Miryam S Haryani disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sedangkan Markus Nari disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017