Beberapa orang tampak kelelahan setelah mengunjungi Kampung Naga di Tasikmalaya. Bagaimana tidak, untuk mencapai lokasi desa adat tersebut, pengunjung harus menuruni 439 anak tangga.
Dan apabila pengunjung akan kembali ke pintu masuk, maka harus menanjak menapaki jumlah anak tangga yang sama. Perjalanan menuju Kampung Naga melewati anak tangga tersebut ditemani dengan pemandangan bentangan sawah, tebing, dan sungai.
Di Kampung Naga, pengunjung tidak akan menemui hal-hal yang berhubungan dengan makhluk mitologi naga. Kampung Naga merupakan sebuah desa yang dihuni oleh masyarakat adat yang masih memegang teguh ajaran leluhur mereka.
Asal kata "naga" diambil dari bahasa Sunda "nagawir" yang artinya kampung di bawah tebing. Kampung Naga merupakan kompleks desa seluas 1,5 hektare yang dikelilingi oleh tebing-tebing dan berada di sebelah aliran Sungai Ciwulan yang berhulu di Gunung Cikuray.
"Di Kampung Naga, yang dibatasi adalah luas arealnya, bukan bangunannya. Batasnya harus 1,5 hektare dan dikelilingi pagar bambu," kata Darmawan (48), warga kampung adat yang juga bekerja sebagai pemandu.
Di dalam pagar bambu yang membatasi areal kampung, terdapat rumah penduduk dan bangunan-bangunan sakral. Sementara di luar pagar merupakan tempat-tempat yang dianggap "kotor", seperti kamar mandi dan kandang ternak.
Masyarakat Kampung Adat memilih untuk hidup dengan memegang teguh ajaran dan petuah leluhur. Hal tersebut ditunjukkan dengan keseharian mereka yang melestarikan kearifan lokal, menolak kesenian modern, dan memilih untuk tidak menggunakan listrik.
Warga adat Kampung Naga sama sekali tidak memanfaatkan listrik untuk menjaga rumah-rumah panggung mereka agar tidak terbakar mengingat semua bahan bangunan rumah berasal dari alam, seperti atap yang terbuat dari ijuk dan daun tepus serta tembok bilik dari bambu.
"Penyangga dari batu agar mencegah rayap," ucap Darmawan.
Pintu dapur di rumah panggung Kampung Naga juga terbuat merupakan bilik sasak anyaman bambu agar warga kampung dapat menjaga api agar tidak membakar rumah.
Menurut penuturan Darmawan, Kampung Naga pertama dikunjungi oleh orang asing pada tahun 1980-an, yaitu oleh seorang warga negara Belanda. Sedangkan pengunjung lokal mulai ramai berkunjung ke Kampung Naga sekitar 1993-1994.
Darmawan mencatat sudah ada pengunjung dari 12 negara yang pernah berkunjung ke Kampung Naga.
Ia menceritakan bahwa Kampung Naga bukan merupakan objek wisata untuk menghindari komersialisasi, seperti penarikan retribusi dan tiket bagi pengunjung. Pemberlakukan biaya masuk pernah terjadi sekitar 1999, namun kemudian warga memutuskan menolak desa adatnya dijadikan tempat wisata.
"Tamu boleh saja berkunjung tanpa bayar tiket, karena kami sendiri menjunjung tinggi silaturahim. Namun apabila ada acara adat khusus, tamu tidak diperbolehkan mengambil foto atau video," ucap Darmawan.
Acara adat tersebut biasanya merupakan kegiatan yang diselenggarakan di Bumi Ageng yang menjadi salah satu tempat sakral dan keramat peninggalan nenek moyang. Bumi Ageng salah satunya digunakan warga adat untuk menjalankan ritual sebelum berziarah ke makam leluhur yang berada di hutan keramat sebelah timur laut Kampung Naga.
Terikat Adat
Sebagai kampung adat, Kampung Naga dipimpin oleh satu lembaga adat yang terdiri dari tiga tokoh adat, yaitu kuncen, lebe adat, dan punduh adat, yang dijabat secara turun-temurun dan tidak dipilih oleh warga.
Kuncen bertugas sebagai pemangku dan pemimpin upacara adat. Lebe mempunyai tugas membantu pihak yang meninggal, dari memandikan sampai menguburkan, kemudian punduh mempunyai tugas sebagai penyebar informasi ke masyarakat.
Penghuni atau kaum Naga yang tinggal di desa adat tersebut sebanyak 300 orang dari 101 kepala keluarga. Terdapat 113 bangunan yang terdiri dari 110 rumah (101 dihuni dan 9 rumah kosong) dan tiga bangunan sarana umum yaitu masjid, balai pertemuan, dan lumbung padi.
Darmawan mengatakan 97 persen warga asli Kampung Naga sudah bertempat tinggal di luar desa. Warga kampung naga di luar disebut dengan istilah "sanaga" atau satu keturunan Kampung Naga. Warga Kampung Naga sudah menyebar terutama di tiga kecamatan, yaitu Slawu, Puspahiyang, dan Cigalontang.
Keturunan Kampung Naga yang tinggal di luar disesuaikan dengan kondisi luar, artinya boleh memakai rumah permanen dan listrik, namun tetap mengikuti upacara adat setahun enam kali, terutama setiap hari besar Islam.
Agama Islam sendiri diperkirakan masuk ke Kampung Naga pada abad XIV. Sebuah masjid didirikan di sebelah timur lapangan sentral atau semacam alun-alun di kampung tersebut.
Salah satu hal yang unik di Kampung Naga adalah dikaitkannya hari raya umat Islam dengan larangan adat yang berlaku di desa tersebut. Terdapat tiga hari larangan mengadakan kegiatan adat, yaitu pada Selasa, Rabu, dan Sabtu. Pada hari-hari tersebut, Kampung Naga tidak boleh melakukan kegiatan adat.
Namun, larangan tersebut ditoleransi ketika penduduk Kampung Naga merayakan Idul Fitri. Misalnya Lebaran jatuh pada Selasa, maka salat Id tetap dilakukan pada Selasa namun upacara adat hajat sasih dilaksanakan pada Kamis.
Sedangkan apabila Lebaran jatuh pada hari yang bukan termasuk larangan, maka akan dilangsungkan upacara adat langsung setelah salat Id.
Darmawan mengatakan hari larangan merupakan amanat dari nenek moyang. Apa yang sudah diamanatkan dan diwasiatkan oleh nenek moyang tidak boleh dilanggar karena akan ada akibatnya.
Ia menjelaskan upaya masyarakat adat memegang teguh ajaran leluhur membuat hidup bermasyarakat di Kampung Naga menjadi lebih terjaga kerukunannya.
"Di sini kami hidup sederhana yang penting cukup makan. Saling hidup berkomunitas tidak ada konflik dan tidak fanatik, mau memeluk agama apapun yang penting damai. Sampai sekarang kami bisa menjaga adat istiadat, dan akan terus dijaga," kata Darmawan.
Ia kemudian menunjuk ke atap rumah panggung yang puncaknya berbentuk tanduk.
"Setiap rumah di atas atapnya ada bagian mirip tanduk. Bentuknya mirip peace, menandakan perdamaian. Dalam hidup ini yang penting memang damai," kata Darmawan sambil terkekeh.
Oleh Calvin Basuki
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017