Di wilayah Wonosobo setiap Hari Raya Iedul Fitri ada tradisi menerbangkan balon udara. Tradisi ini tiap tahun meningkat frekwensi dan wilayahnya. Sudah membentang dari Wonosobo, Blitar, Puworedjo hingga Jogjakarta. Sebuah tradisi yang jika dikembangkan dan ditata ulang akan menjadi daya kreativitas insan dirgantara yang menarik dan inovatif.
Tradisi ini menarik seperti juga lomba layang layang berukuran sedang dan besar baik yang ada di Pangandaran maupun di Pulau Bali. Bisa membuat masyarakat mencintai dirgantara dan juga jadi tontonan turis. Tradisi ini juga mungkin dapat diikuti dengan tradisi lain yakni lomba pembuatan pesawat aeromodeling yang sering dilakukan Pramuka dimasa lalu.
Kini juga ada tren pemanfaatan drone untuk meliput arus mudik dan juga pernikahan atau kegiatan lainnya. Akan tetapi tradisi ini memerlukan "Rule of Engagement", Tata kelola yang mengatur jadwal dan ruang gerak majunya. Perlu Limitasi. Tidak boleh sembarangan dan bebas merdeka tanpa memikirkan akibatnya pada pihak ketiga di ruang udara.
Pembuatan balon udara yang dilakukan masyarakat Wonosobo menarik diikuti. Awalnya ukuran kecil yang diterbangkan mirip seperti lampion terbang. Kini rasa ingin tau dan pelajaran melalui youtube telah menyebabkan para hobbyist Balon udara telah merambah kedaerah kreativitas yang memerlukan tata kelola. Sebab ukuran balon bertambah besar, juga ada keinginan yang diterbangkan bukan sekedar balon biasa.
Tiap inisiatip melahirkan pelbagai kemungkinan. Ada hobbyist yang mulai ingin berlomba membuat balon udara yang lebih besar ukurannya dan lebih tinggi daya jelajahnya. Juga ada yang mulai memasukkan unsur tambahan, Balon udara digunakan mengangkut beban. Ada yang membawa keranjang berisi batu, ada yang digunakan membawa tabung gas dan ada juga yang membawa petasan Ditemukan balon udara yang membawa petasan sejumlah 300 buah dengan ukuran 2,5 cm x 10 cm dan 9cm x20 cm, begitu kata sebuah WA yang ditulis Marsma (P) J Koelbiun, seorang senior yang saya kenal sangat concern dengan soal safety of airspace.
Dengan kata lain pemanfaatan balon udara sebagai tontonan masyarakat kini telah memasuki wilayah berbahaya. Ketinggian terbang nya telah menyerempet pada "airways", atau jalur udara penerbangan jelajah pesawat terbang komersial. 19000 kaki hingga 25000 kaki. Dan balon udara dapat menjadi "obstacle" atau benda asing yang dapat bertumbukan dengan pesawat terbang berkecepatan 780 km udara, di udara.
Tidak terbayang jika sebuah balon udara yang terbuat dari plastik tebal dan liat tertabrak pesawat terbang dan semua plastiknya menutupi kaca depan pilot. Atau balon udara berisi petasan meledak diudara atau balon udara mengangkut tabung gas menumbuk pesawat udara yang sedang melayang diudara. Disaster, peristiwa dan tragedi akan terjadi.
Sudah banyak laporan muncul. Menurut AirNav laporan kehadiran balon udara yang telah tampak diwilayah Airways atau jalur udara dalam 3 hari terakir berjumlah 33 laporan. Menurut siaran TvOne kemarin malam ada laporan dari pilot pelbagai maskapai tentang itu. Para pilot Maskapai lion air, batik, citilink, garuda, malaysian airline telah melaporkan warning tanda bahaya akan kehadiran balon udara tersebut. Wilayahnya membentang dari Wonosobo, Jogja hingga Laut Jawa.
Peringatan tanda bahaya dari para pilot telah dinyatakan. AirNav juga telah memberikan Notice to Airman. Akan tetapi yang diperlukan bukan peringatan melainkan tindakan pencegahan dan pengaturan yang tepat dan tegas. Mencegah terjadinya kecelakaan jauh lebih berguna dibanding membiarkan tragedi terjadi.
Aparat kepolisian dan aparat TNI AU perlu dikerahkan untuk membuat agar kegiatan masyarakat ini tidak masuk wilayah udara , airways yang membahayakan keselamatan penerbangan. Apalagi jika diketahui selama musim liburan Lebaran ini terjadi peningkatan frekwensi terbang pesawat udara pelbagai maskapai penerbangan yang mombawa penumpang biasa dan juga penumpang VVIP, diwilayah udara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Penataan pemanfaatan ruang udara perlu dilakukan oleh Otoritas Bandara sesuai UU No 1/2009 Penerbangan.
Ruang udara bukanlah lapangan sepak bola tanpa aturan tatakelola. Hanya ada dua instansi yang memiliki otoritas mengatur ruang udara. Kementerian Perhubungan dan TNI AU. Sebab ruang udara seperti juga defense system adalah public utility. Tatakelola-nya memiliki aturan baku yang ditetapkan melalui Undang Undang. Tak semua orang dapat dengan bebas merdeka menggunakan ruang udara tanpa izin. Apalagi jika yang dimanfaatkan adalah ruang udara "airways", jalur udara penerbangan komersial yang padat pesawat terbang berisi penumpang.
Pemanfaatan ruang udara perlu diatur dan dikelola dengan baik, sebab setiap benda bergerak diudara memiliki potensi dapat digunakan sebagai pesawat pengintai, penjatuh benda berbahaya seperti petasan yang dapat meledak ditengah keramaian atau pasar pasar , juga dapat digunakan untuk membawa tabung gas tanpa izin yang dapat dijatuhkan masuk kesebuah gedung merusak segala isinya.
Dengan kata lain permainan balon udara kini bukan lagi sekedar tradisi dan tontonan biasa. Sudah masuk daerah abu abu. Keterampilan masyarakat dalam menjahit dan membuat potongan plastik tebal menjadi bentuk balon udara mirip seperti balon Google kini telah masuk kedalam wilayah teknologi yang memerlukan pengaturan ketat. Terkandung potensi ancaman disana.
Mudah-mudahan saya tidak keliru. Sebagai seseorang yang pernah mendapatkan latihan dan pengalaman sebagai seorang ahli Keselamatan dan Keamanan Transportasi Udara, serta anggota Tim Nas Evaluasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi ditahun 2006-2007, saya merasa perlu menulis dan menshare rasa hawatir ini agar kita semua memiliki upaya sistimatis berkelanjutan untuk kembali membenahi tatakelola ruang udara kita. Agar Indonesia tidak kembali diberi tanda "black star", wilayah udara nya tidak aman karena banyak "foreign object" yang melayang layang diudara tanpa dapat dijejaki radar pesawat seperti balon udara, drone tanpa awak dan layang layang sebesar manusia. Foreign object , benda asing yang terbang tanpa kendali.
The sky is wide but there is no place for small error. Preventive Action atau tindakan pencegahan dini jauh lebih utama dibanding membiarkan potensi ancaman keselamatan penerbangan dibiarkan melenggang kangkung tanpa kendali. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan,
Salam.
*) Penulis adalah mantan menteri perhubungan dan komisaris utama Garuda Indonesia
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017