Depok (ANTARA News) - Analis politik dari Fisip Universitas Indonesia, Boni Hargens, menilai Partai Keadilan Sejahtera (PKS) harus introspeksi diri ke dalam, terutama dalam hal perilaku politik para kadernya, agar jangan sampai memicu antipati dari kelompok politik lain. Hal tersebut dikemukakan Boni, di Depok, Selasa, menanggapi adanya pelemparan bom molotov, di Kantor DPD PKS Kota Depok, di Jalan Margonda, Gang Beringin Nomor 7, Depok, pada Senin (22/5) dinihari. "Selama ini kan PKS (dinilai) sangat eksklusif dibandingkan dengan partai-partai lain. Ini yang harus jadi perhatian mereka," kata Direktur Riset Parrhesia (Institue Nations State in Building) itu. Dikemukakannya, PKS juga harus memperjelas arah politik lokal di Depok, yakni perlu ada koordinasi antara walikota yang menjabat dan PKS sebagai partai asalnya. "Jika tidak, kekacauan politik ini akan meluas dan awet," katanya. Ia menilai, ada dua kemungkinan pelaku dalam ledakan di kantor PKS Depok itu. Pertama, kelompok politik anti-PKS. Artinya bom itu akumulasi dari keresahan, kemarahan, termasuk suatu bentuk tekanan fisik terhadap PKS yang dituduh eksklusif di Depok. Dalam kaitan itu, PKS dianggap "common enemy" oleh kelompok politik non-PKS yang tidak senang dengan model politik ala PKS yang menurut pandangannya sukar berkolaborasi. Hal ini, kata dia, memang logis karena di DPRD Depok saja, sebetulnya hanya ada dua kubu, yakni PKS dan Non-PKS, dimana partai di luar PKS bersatu melawan PKS. "Ini gejala yang tidak sehat, karena yang memerintah Depok sebetulnya PKS. Walikota Nur Mahmudi Ismail itu orang PKS," katanya. Kedua, kata dia, kemungkinan bom ini dilakukan oleh kelompok yang gerah dengan gerakan politik yang memakai simbol agama. Namun kelompok ini masih sulit muncul di Indonesia, dan kalau pun itu ada, besar peluang ke depan ada partai agama lagi yang di bom. "Dan itu, bisa saja PDS (Partai Damai Sejahtera), bisa partai lainnya," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2007