Canberra (ANTARA News) - Konsul Herbangan Napitupulu dan Sekretaris I Konsulat RI di Darwin, Teguh Wiweko, Selasa sore, mendatangi Pusat Penahanan Darwin, Northern Territory (NT) dan menemui para nahkoda enam kapal ikan Indonesia yang ditangkap otoritas Australia 16 Mei lalu. "Itu merupakan pertemuan langsung pertama setelah notifikasi penangkapan enam orang nakhoda dan 43 awak kapal ikan kita diterima," kata Sekretaris I/Pensosbud Konsulat RI di Darwin, Buchari Hasnil Bakar, ketika dihubungi ANTARA dari Canberra. Pertemuan itu juga merupakan bagian dari upaya menggali informasi yang lebih akurat dan lengkap tentang kronologis penangkapan, jenis kapal, alasan serta lokasi penangkapan, katanya. Sehari sebelumnya, Sekretaris I Konsulat RI Darwin, Teguh Wiweko, mengatakan, otoritas Australia mengklaim bahwa para nelayan Indonesia itu ditangkap di perairan Pulau Pasir (Ashmore Reef) yang sejak 1989 sudah dinyatakan Australia sebagai wilayah suaka alam bahari yang dilindungi. Kendati penangkapan terhadap 49 nelayan Indonesia itu dilakukan otoritas Australia pada 16 Mei lalu dan informasinya sudah sempat dilansir sebuah media Jerman, namun "notifikasi penangkapan" mereka baru diterima awal pekan ini atau setelah informasinya keluar di media. Sekretaris I/Konsuler KBRI Canberra, Meri Binsar Simorangkir, mengatakan, pada Minggu malam (20/5), pihaknya belum menerima "notifikasi penangkapan" (notification of apprehension) dari Pemerintah Australia kecuali mengetahui informasi penangkapan para nelayan Indonesia itu dari laporan media massa. Menurut Simorangkir, selama ini, notifikasi penangkapan yang sudah menjadi prosedur yang disepakati pemerintah kedua negara itu berisikan nama kapal dan jumlah awak kapal yang mereka tahan, sedangkan nama-nama awak maupun titik koordinat penangkapan tidak pernah disebutkan dalam notifikasi itu, katanya. "Padahal kita juga memerlukan nama-nama nelayan kita yang ditahan itu, karena ini penting untuk perlindungan kekonsuleran, serta soal titik penangkapan kapal atau perahu nelayan kita supaya kita bisa melakukan verifikasi bersama apakah titik penangkapan itu benar-benar berada di perairan Australia atau justru sebaliknya masih berada di perairan kita. Ini penting untuk pembelaan diri di pengadilan," katanya. Pemerintah Australia, katanya, selalu berlindung di balik Undang Undang Privasi terkait dengan ketidakmauan mereka memberi tahu nama-nama nelayan Indonesia jika ada penangkapan, kata Simorangkir. Radio Australia akhir pekan lalu melaporkan, ke-49 nelayan itu ditemukan di atas enam kapal ikan asing pada 16 Mei lalu di perairan dekat Taman Laut Ashmore di Laut Timor. Kapal-kapal ikan itu sebelumnya tertangkap layar pesawat pengintai pantai sebelum disergap kapal bea cukai Australia. Menteri Kehakiman Australia, David Johnston, mengatakan operasi tersebut menunjukkan hasil usaha pemerintahnya dalam menghadapi pencurian ikan. Jika para nakhoda enam kapal ikan Indonesia itu terbukti mencari ikan secara ilegal, mereka dan pemilik kapal kehilangan enam kapal karena Australia memiliki kebijakan membakar kapal-kapal nelayan asing jika para pemilik tidak bersedia membayar denda. (T.R013/ Bagi Australia, kasus pencurian ikan di perairan utara negeri jiran berpenduduk lebih dari 20 juta jiwa oleh kapal/perahu ikan Indonesia merupakan tantangan bersama hubungan kedua negara. Duta Besar Australia untuk Indonesia, Bill Farmer, dalam sebuah pertemuan di Jakarta menekankan hal itu kendati, menurut dia, pemerintahnya tidak melulu menerapkan pendekatan hukum untuk menangani masalah ini. Pendekatan yang komprehensif seperti ikut menangani kemiskinan dan menyediakan informasi publik untuk mendidik para nelayan tentang konsekuensi hukum dari melakukan pencurian ikan, pentingnya kelestarian lingkungan dan alternatif mata pencaharian selain melaut bagi nelayan, juga dilakukan, katanya. (*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007