Jakarta (ANTARA News) - Mantan Ketua DPR RI Ade Komarudin tidak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP-e).
KPK pada Selasa dijadwalkan memeriksa Ade Komarudin sebagai saksi untuk tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong.
"Saksi Ade Komarudin tidak hadir hari ini, pemeriksaan akan dijadwalkan ulang. Kami belum dapat informasi kapan penjadwalan ulang tersebut," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa.
Terkait pemeriksaan terhadap Ade Komarudin kali ini, kata Febri, tentu KPK akan melihat peran dari saksi dan posisi saksi ketika proyek KTP-e itu dibahas atau pun menggali informasi pada saat proses pengadaan KTP-e.
Sementara soal apakah KPK juga mendalami soal dugaan aliran dana pengadaan KTP-e ke Ade Komarudin senilai 100 ribu dolar AS, Febri menyatakan KPK juga akan mendalaminya lebih lanjut.
"Indikasi aliran dana pada sejumlah pihak kami sudah sebutkan di dakwaan dua terdakwa, tentu masih terus kami dalami lebih lanjut, tidak hanya ke orang-orang tertentu tetapi untuk semua pihak yang diduga menikmati aliran dana KTP-e," ucap Febri.
Selain Ade Komarudin, KPK juga memeriksa mantan Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Chaeruman Harahap sebagai saksi juga untuk tersangka Andi Agustinus.
Seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK Jakarta, Selasa, Chaeruman membantah telah terjadi pemberian uang terhadap dirinya terkait pengadaan KTP-e.
"Enggak," kata Chaeruman singkat.
Sebelumnya, mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman menceritakan soal pembagian uang sejumlah Rp520 miliar dalam pengadaan KTP-Elektronik (KTP-E).
"Sekitar 2011, Sugiharto datang menemui saya di ruang kerja di Dirjen Dukcapil, hanya ada saya dan Sugiharto. Dalam pertemuan itu, Sugiharto memperlihatkan secarik kertas, namun berisi catatan yang menurut dia catatan tersebut berasal dari Andi Narogong (pengusaha direktur PT Cahaya Wijaya Kusuma), isinya rencana penyerahan dari Andi Narogong ada sejumlah nama ketua Setya Novanato, Anas Urbaningrum, Marzuki Ali, Chareuman, Komisi II DPR, apakah ini benar?" tanya hakim Jhon Halasan Butarbutar dalam sidang pemeriksaan terdakwa di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (12/6).
"Betul yang mulia, bahkan setelah saya bertemu dengan Giarto (Sugiharto) setelah BAP (Berita Acara Pemeriksaan), lebih lengkapnya ada, ada catatan itu Rp520 miliar totalnya dengan rinciannya," tambah Irman.
Rinciannya, kartu Kuning yaitu untuk Golkar Rp150 miliar, kemudian biru itu Partai Demokrat Rp150 miliar juga, ketiga itu Merah Rp80 miliar.
"Kemudian ada MA, yaitu Marzuki Ali 20, kemudian berikutnya Anas Urbaningum itu 20 juga, kemudian ada juga CH, itu Chaeruman Harahap 20, kemudian ada LN atau partai lainnya itu jumlahnya 80. Itu secara lengap baru saya dapatkan dari Pak Giarto, ini rencana seperti ini tidka mungkin terjadi kalau tidak ada kesepakatan dengan Andi dan konsorsium yang akan menang. Realisasinya setelah menang pencairan termin 1, 2, 3, dan 4 berdasarkan laporan dari konsorsium melaui Pak Anang ke Pak Giarto," tambah Irman.
Irman juga mengaku masih ada uang untuk Serektaris Jenderal Kemendagri saat itu Diah Anggraini.
Dalam dakwaan Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto, Chairuman disebut punya peran penting dalam penanggaran KTP-E. Chaeruman juga disebut menerima total 584 ribu dolar AS dan Rp26 miliar.
Dalam dakwaan itu, Ade Komarudin yang saat itu menjabat Sekretaris Partai Golkar juga disebut menerima total 100 ribu dolar AS terkait proyek sebesar Rp5,95 triliun ini.
Terdakwa dalam kasus ini adalah Irman dan Sugiharto.
Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
KPK juga telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus, mantan Anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, dan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golongan Karya Markus Nari sebagai tersangka dalam perkara tersebut.
Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Sementara Miryam S Haryani disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sedangkan Markus Nari disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017