Tapi, perbaikan basis data wajib pajak saja belum cukup."

Jakarta (ANTARA News) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar modernisasi teknologi sistem perpajakan dapat lebih menyederhanakan sistem data perpajakan.

"Saya minta kita fokus membicarakan modernisasi teknologi perpajakan, agar kita tidak terjebak hanya membicarakan isu teknologi semata, tapi juga bisa membangun sebuah sistem data perpajakan yang lebih handal, yang lebih terintegrasi dan sederhana," kata Presiden saat membuka rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa.

Selain sederhana, menurut Presiden, sistem teknologi perpajakan itu juga memberikan kemudahan akses bagi wajib pajak dan bisa dijamin keamanannya.

"Saya yakin modernisasi teknologi informasi perpajakan akan menjadi salah satu pilar penting dalam reformasi perpajakan yang sedang kita gulirkan," ungkap Presiden.

Program amnesti pajak, dalam penilaian Presiden, sudah memberikan fondasi yang kokoh untuk memperbaiki basis data wajib pajak.

"Tapi, perbaikan basis data wajib pajak saja belum cukup. Direktorat Jenderal Pajak perlu menyiapkan pengelolaan data wajib pajak yang akurat serta terintegrasi secara menyeluruh sehingga sistem perpajakan, sistem kependudukan, sistem keuangan maupun sistem yang lain yang relevan bisa terintegrasi dengan baik," kata Presiden.

Penyiapan sistem data informasi yang lebih handal ini itu, menurut Presiden, sangat mendesak karena Indonesia memiliki komitmen untuk bergabung dengan 139 negara lain dalam kerja sama pertukaran informasi secara otomatis dalam Kesepakatan Otoritas Kompeten Multilateral (MCAA) bidang perpajakan.

"Saat ini sudah sebanyak 90 negara menandatangani Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) dan saya tekankan Indonesia juga punya komitmen yang tegas soal ini dengan terbitnya Perppu Nomor 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Jeuangan untuk Kepentingan Perpajakan," ungkap Presiden.

Presiden Jokowi meminta agar momentum tersebut digunakan sebaik-baiknya untuk membangun sistem data, informasi perpajakan yang lebih komprehensif dan terintegratif.

"Saya yakin langkah reformasi dan modernisasi sitem teknologi informasi perpajakan ini sangat bermanfaat bagi upaya peningkatan tax ratio, mendorong kepatuhan pajak secara sukarela dan mencegah penghindaran dan penggelapan pajak," demikian Presiden Jokowi.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan memberikan kewenangan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak untuk mendapat akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari lembaga jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dan lembaga jasa keuangan lain tanpa seizin Menteri Keuangan dan Bank Indonesia (BI) karena Perppu menganulir pasal tersebut.

Perppu tersebut diterbitkan untuk memenuhi komitmen Indonesia dalam pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) yang merupakan syarat bagi Indonesia untuk ikut serta dalam perjanjian internasional bidang perpajakan tersebut.

Sebagai tindak lanjut perppu, diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan yang menetapkan batas minimum saldo wajib dilaporkan Rp200 juta yang lalu direvisi menjadi Rp1 miliar.

Khusus untuk rekening yang dimiliki perusahaan dibuka sebelum 1 Juli 2017, wajib dilaporkan hanya rekening bernilai lebih dari 250 ribu dolar AS (sekitar Rp3,3 miliar) pada 30 Juni 2017. Bagi orang pribadi tidak ada batasan minimum nilai rekening yang harus dilaporkan.

Dengan adanya batas saldo minimum ditetapkan Pemerintah Indonesia senilai Rp1 miliar, maka berarti jumlah rekening yang wajib dilaporkan adalah sekitar 496.000 atau 0,25 persen dari keseluruhan rekening di perbankan saat ini.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017