Suatu senja musim dingin di bibir Sungai Nil di Helwan, bagian selatan Kota Kairo, Mesir, pria muda tampan itu menyerahkan sebuah amplop misteri kepada istrinya tanpa menjelaskan isinya.
"Jangan buka ini amplop. Nanti bila saya sudah kembali ke Mesir, kita berdua akan membukanya bersama-sama. Tapi jika saya tidak kembali lagi selamanya, maka bukalah amplop ini dan ambil isinya," demikian pesan sang suami.
Dengan mata sendu, tanpa tanya, tanpa kata-kata, sang istri menerima dan menyimpannya.
Suami yang berprofesi sebagai diplomat itu akan segera mengemban misi negara dalam perjalanan rahasia ke Indonesia, negeri yang masih diblokade Belanda akibat berkecamuk perang kemerdekaan.
Misi utamanya adalah bertemu Presiden Soekarno di Yogyakarta dalam proses pengakuan kemerdekaan RI. Jogja kala itu menjadi ibu kota sementara RI karena situasi keamanan Jakarta tidak kondusif.
Diplomat muda energik itu tak lain adalah Mohamed Abdel Monem, Konsul Jenderal Mesir di Bombay, India. Ia mendapat kepercayaan dari Sekjen Liga Arab, Abdel Rahman Azzam Pasha, sebagai utusan khusus Mesir dan negara-negara anggota Liga Arab ke Indonesia.
Saat menyerahkan amplop kepada istrinya, Monem tidak menjelaskan bahwa ia akan melakukan perjalanan ke Indonesia yang berisiko tinggi. Dia hanya bilang akan bertugas beberapa pekan ke luar negeri.
Padahal Monem baru tiba dari Bombay untuk cuti beberapa hari dan memenuhi undangan Sekjen Azzam Pasha dalam rangka penugasan ke Indonesia.
Belakangan terungkap bahwa amplop misteri itu ternyata berisi wasiat, berupa dokumen penting polis asuransi jiwa senilai 5000 dolar. Maknanya, Monem bertekad mengorbankan jiwa dan raga demi Indonesia.
Ihwal amplop misteri itu dikisahkan oleh istri Monem kepada wartawan senior Mesir, Gamel Arif, dalam buku: Syahid Alaa Maulid Jaamiah Al Dual Al Arabiyah (Saksi Hidup Berdirinya Liga Arab) .
Buku tersebut secara sepintas mengisahkan peran Liga Arab yang dimotori Sekjennya, Azzam Pasha, dalam memperjuangkan pengakuan Kemerdekaan RI, sehingga Mesir tercatat sebagai negara pertama mengakui kemerdekaan RI, disusul pengakuan serupa oleh negara-negara anggota Liga Arab.
Hikayat amplop misteri tersebut layak dikenang terkait peringatan 70 tahun Perjanjian Persahabatan RI-Mesir yang ditandatangani di Kairo pada 10 Juni 1947.
Perjanjian Persahabatan itu melalui perjalanan panjang berliku, yang merupakan hasil dari kunjungan bersejarah Abdel Monem ke Jogja selama lima hari, 13-17 Maret 1947.
Berburu binatang
Gamel Arif dalam buku itu mengisahkan bahwa ia menutup rapat rencana perjalanan Monem ke Indonesia. Padahal isu tersebut merupakan berita bagus bernilai tinggi bagi seorang wartawan untuk disiarkan ke publik.
"Saya di antara sedikit wartawan yang mengetahui secara detail peran Liga Arab dalam membantu Revolusi Indonesia. Begitu pula mengikuti persiapan Monem ke Indonesia. Tapi saya menutup mulut rapat-rapat dan sama sekali tidak berniat menyebarkan rencana itu untuk menjaga kerahasiaannya," tutur Gamal Arif.
Liga Arab kala itu masih tergolong organisasi baru, hanya berpaut lima bulan sebelum Proklamasi RI. Azzam Pasha sendiri tercatat sebagai Sekjen pertama organisasi regional yang didirikan di Alexandria pada 22 Maret 1945.
Awal perjalanan ke Indonesia, Abdel Monem mula-mula datang secara baik-baik ke Kedutaan Belanda di Singapura untuk meminta visa, namun ditolak dengan alasan yang tidak jelas.
Monem pun mulai mencari jalan pintas menerobos blokade Belanda untuk bisa masuk ke Indonesia secara rahasia.
Dia berusaha menyewa pesawat dengan skenario bepergian ke Malaysia untuk berburu binatang buas. Skenarionya, ketika pesawat carteran sudah berada di udara Singapura, haluannya akan dibelokkan ke Jogja.
Persoalannya, semua maskapai tidak bersedia terbang ke Indonesia tanpa izin resmi dari pemerintah kolonial Belanda.
Dua pekan lamanya terkatung-katung di Singapura tanpa kejelasan. Monem menemui titik terang setelah berkenalan dengan Muriel Stuart Walker, wanita kelahiran Inggris berwarga negara Amerika Serikat yang simpati pada Indonesia.
Muriel tiba di Indonesia sekitar awal tahun 1930-an, menetap beberapa tahun di Bali. Seorang Raja Bali menjadikannya sebagai anak angkat dan diberi nama bernuansa Bali, Ktut Tantri. Wanita bule ini kerap bolak balik Indonesia-Singapura.
"Saya dengar Anda pernah berlayar menerobos blokade Belanda dari Jawa ke Singapura. Boleh membantu saya berlayar ke Jogja tanpa diketahui Inggris dan Belanda?," pinta Monem kepada Tantri.
Singkat cerita, Ktut Tantri menyertai Monem ke Jogja setelah berhasil menyewa sebuah pesawat komersial Filipina.
Ktut Tantri dikenal sangat dekat dengan Bung Karno dan kalangan tokoh pejuang kemerdekan.
Bahkan setahun sebelum menyertai Moneim ke Jogja, Ktut pernah ikut serta rombongan Presiden Soekarno dalam kunjungan ke Malang, Jawa Timur, pada Maret 1946.
Dalam "The Roman of Ktut Tantri And Indonesia", dikisahkan bahwa Bung Karno sempat memperkealkan Ktut Tantri kepada massa masyarakat saat berpidato di Malang.
"Mungkin kalian heran dan bertanya-tanya siapa gerangan wanita bule di samping saya ini. Meskipun Saudari Ktut Tantri ini kelahiran Inggris dan berwarga negara Amerika Serikat, tapi dia hidup di Bali, seperti ibu saya juga orang Bali," ujar Bung Karno.
"Saudari Ktut Tantri adalah satu-satunya orang asing yang secara terbuka berdiri di samping kita, dia menggunakan segala kemampuannya untuk membantu perjuangan kita meraih kemerdekaan," papar Bung Karno.
Dokumen rahasia
Perjalanan Abdel Monem ke Indonesia juga terekam dalam dokumen-dokumen rahasia Inggris.
Salinan dokumen rahasia itu diperoleh Omar Azzam, putra sulung mendiang Azzam Pasha dari Kementerian Luar Negeri Inggris. Dokumen rahasia itu dianggap sudah dianggap bukan rahasia lagi dan bisa dipublikasikan setelah 50 tahun sesuai undang-undang Inggris.
Omar Azzam membagi kisah tentang dokumen rahasia Inggris tersebut saat mewakili mendiang ayahnya untuk menerima penganugerahan "Bintang Jasa Utama" dari Presiden Soeharto pada 1997.
Penyematan Bintang Jasa Utama itu dilakukan Dubes RI untuk Mesir Boer Mauna di Wisma KBRI Kairo terkait peringatan tahun emas (golden jubilee) penandatangan perjanjian diplomatik RI-Mesir.
Dokumen rahasia Inggris tersebut berupa surat-surat nota diplomatik dan laporan Duta Besar dan Konsul Jenderal Inggris di Timur Tengah dan Asia kepada pemerintah pusat, menyangkut peran Mesir dan Liga Arab atas pengakuan kedaulatan RI.
Dokumen rahasia itu juga terungkap begitu gencarnya Inggris sebagai sekutu Belanda mendesak Mesir dan Liga Arab untuk membatalkan niat pengiriman utusan khusus ke Indoesnia dalam rangka pengakuan kemerdekaan RI. Surat-surat dinas itu dikirim lewat telegram.
Misalnya saja, laporan Dubes Inggris di Kairo Sir. R. Campbell kepada London yang tertuang dalam suratnya tertanggal 2 April 1947 bahkan menuduh Azzam Pasha menyalah-gunakan wewenangnya sebagai Sekjen Liga Arab untuk mengelabui dunia Arab.
Dubes Campbell dalam laporannya bernomor 840 menyebutkan bahwa aksi Konsul Mesir di Bombay, Abdel Monem, ke Indonesia itu adalah instruksi dari Sekjen Azzam.
"Ini jelas-jelas merupakan bukti bahwa Azzam menyalahgunakan wewenang sebagai Sekjen Liga Arab," tulis Campbell yang ditembuskan kepada Dubes Inggris di Baghda, Beirut, Damaskus, Jeddah, Yerusalem dan Amman.
Campbell juga menceritakan bahwa Sekjen Azzam senantiasa menjalin hubungan erat dengan pelajar-pelajar Indonesia di Kairo dan dari mereka pula ia memperoleh keterangan tentang Indonesia.
Anehnya, surat rahasia Campbell yang lain kepada London bernomor 868 tanggal 8 April 1947 dengan nada keras mempertanyakan sikap adem ayem Belanda dan India tentang misi Konsul Jenderal Mesir di Bombay, Abdel Monem, ke Yogyakarta.
"Apakah tidak mungkin Belanda dan pemerintah India melakukan protes resmi di sini (Kairo) tentang tingkah laku Konsul Jenderal (Mesir) di Bombay?," begitu isi surat Campbell kepada London yang disetai kata awal dengan huruf huruf kapital, "CONFIDENTIAL" (rahasia).
Di sisi lain, Konsul Inggris di Baghdad Sir H Stonehewer dalam laporannya tertanggal 13 Januari 1947 menyebutkan, Sekjen Azzam meminta kepada Irak agar Wakil Tetapnya di Liga Arab dapat menyertai Moneim untuk berkunjung ke Indonesia. Penguasa Baghdad, menurut Stonehewer, tidak menerima permintaan Sekjen Azzam.
Menanggapi telegram Konsul Inggris di Baghdad itu, Dubes Campbell kepada bosnya di London berpendapat bahwa Azzam Pasha tidak berhak melakukan tindakan politik atas nama Liga Arab.
Negara-negara Arab, katanya, secara terpisah mengumpulkan informasi tantang Indonesia, dan untuk itu mereka mempunyai sikap dan cara pandang yang berbeda-beda.
Laporan Stonehewer nomor 177 tanggal 26 Februari 1947 yang tembusannya kepada Dubes dan Konsul Inggris di Batavia, Singapura, Kairo, Beirut, Damaskus, Yerusalem, Jeddah dan Amman mengungkapkan, Menlu Irak Dr Jamali membantah berita yang disiarkan media massa setempat bahwa Irak merupakan negara pertama yang menyatakan pengakuannya terhadap kedaulatan Indonesia.
Diungkapkan, berita utama media massa Irak tanggal 5 Januari 1947 tentang pengakuan kedaulatan Indonesia tersebut, katanya, dikutip dari siaran Radio Republik Indonesia RRI) yang dipancarkan secara sentral ke Timur Tengah dalam bahasa Arab.
Disebutkan, berita RRI juga menyampaikan terima kasih kepada Menlu Jamali yang telah menyatakan kesiapan negaranya dalam melakukan hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Sekjen Liga Arab Abdel Rahman Pasha dalam suratnya kepada Menlu Inggris tanggal 27 Februari 1947 menegaskan bahwa seluruh negara anggota Liga Arab secara bulat memutuskan untuk mengirim utusannya ke Indonesia atas dasar niat baik untuk mengumpulkan informasi secara langsung tentang kondisi di negeri itu.
Di akhir suratnya, Sekjen Azzam menandaskan, "Resolusi ini, sekali lagi saya tekankan, ditetapkan secara bulat oleh seluruh negara anggota Liga Arab (ketika itu ada tujuh negara anggota: Mesir, Arab Saudi, Irak, Yordania, Suriah, Libanon dan Yaman -- kini Liga Arab beranggotakan 22 negara)".
Konsul Inggris di Singapura Lord Killearn dalam suratnya kepada penguasa London tertanggal 27 Februari 1947 mengemukakan, Konsul Mesir di Bombay Abdel Monem mengontaknya untuk memintai pendapat dan bantuannya sehubungan dengan instruksi melakukan kunjungan ke Batavia agar melihat langsung kondisi secara umum di Indonesia.
Killearn sesumbar mengatakan, Monem sama sekali tidak mengetahui situasi di Indonesia. Instruksi itu, katanya, dikeluarkan oleh Sekjen Azzam Pasha atas nama Liga Arab dengan dasar bahwa di negeri Nusantara itu adalah negara Muslim dan terdapat sekitar 100.000 orang peranakan Arab.
Atas saran Killearn, Monem mengusahakan visa masuk ke Batavia dari pemerintah Belanda. "Ia (Monem) mengusahakan visa Belanda, dan tengah menunggu sebuah pesawat untuk mengantarnya ke Batavia, Killearn melaporkan (27 Pebruari 1947).
Pada 10 Maret 1947, Killearn melaporkan lagi bahwa Monem tengah mendapat kesulitan peroleh visa, dan meminta agar diberikan sedikit catatan cota diplomatik kepada pemerintah Belanda untuk memudahkannya mendapat izin masuk ke Batavia.
Tunggu-punya tunggu, Moneim ternyata tidak mendapat lampu hijau dari penguasa Amsterdam. Alasannya, menurut Killearn, visa akan diberikan bila perjanjian Linggarjati antara Indonesia-Belanda telah ditandatangani.
Pihak Belanda dan Inggris rupanya terkecoh, Monem ternyata berhasil mendarat di Jogja tanpa restu Belanda, tiga hari Killearn membuat laporan.
Konsul Jenderal Inggris di Batavia Mr Mackereth segera melaporkan kepada London. Dalam surat singkatnya tertanggal 18 Maret 1947, Mackereth menjelaskan, "Abdul Manem arrived Djokjakarta on March 14th by chartered aircraft of Philippines Commercial Air Lines this by-passing Dutch controlled territory (Abdel Moneim telah tiba di Yogyakarta pada 14 Maret dengan menyewa pesawat komersial Filipina melewati kawasan yang dikontrol Belanda)".
"Abdel Moneim telah kembali ke Singapura langsung dari Jogjakarta dengan pesawat tanggal 20 Maret dengan selamat, lapor Konsul Inggris di Singapura dalam suratnya tertanggal 21 Maret 1947.
Namun beberapa data dalam dokumen rahasia Inggris itu berbeda dengan catatan sejarah Indonesia. Misalnya, tanggal Abdel Monem tiba di Jogja dan kembali ke Singapura tersebut, yakni catatan Indonesia menyebutkan tiba di Jogja hari Kamis, 13 Maret, dan kembali ke Singapura Senin, 17 Maret 1947.
Setiba di Singapura, Monem menemui Konsull Inggris dan menceritakan situasi sebenarnya di Indononesia bahwa ia menyaksikan kondisi dan kehidupan normal di mana-mana, khususnya di kota Yogyakarta dan sekitarnya, katanya.
"Ia (Monem) juga mengaku menyaksikan makanan berlimpah serta hukum pun tetap berlaku di sana," laporan Lord Killearn, 21 Maret 1947.
Nota telegram Konsul Inggris yang ditembuskan kepada Konsul-Konsulnya Belanda, Kairo dan Batavia, menjelaskan pula bahwa Monem akan segera kembali ke Bombay dan selanjutnya berangkat ke Kairo untuk melaporkan hasil kunjungannya ke Yogyakarta.
Alhasil, kunjungan utusan khusus Mesir dan Liga Arab ini, tak pelak lagi, membantah semua kebohongan Belanda yang menyatakan kepada dunia internasional bahwa pihaknya masih mengontrol penuh semua wilayah darat, laut dan udara Hindia-Belanda.
*) Penulis adalah pemerhati masalah Timur Tengah, pernah menjadi wartawan Antara yang bertugas di Kairo, Mesir
Oleh Munawar S Makyanie*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017