Jakarta (ANTARA News) - Pemandangan serba pink terlihat sangat mencolok di Republic Square atau Alun-Alun Republik di pusat kota Yerevan, ibu kota Armenia. Kawasan ini dikelilingi oleh gedung Museum Sejarah Nasional, bekas kantor kementrian luar negeri dan Hotel Marriott yang semuanya dibangun dengan arsitektur gaya neoklasik.
Di bagian paling tengah, terdapat air mancur di kolam raksasa yang setiap malam menghadirkan atraksi air mancur menari dan menjadi daya tarik pengunjung, terutama pada malam hari.
Kawasan ini seperti Bunderan Hotel Indonesia di Jakarta karena menjadi tempat berkumpul massa saat terjadi aksi unjuk rasa atau acara keramaian lainnya.
Yang menarik dari kawasan tersebut adalah warna pink yang berasal dari batu bahan bangunan, sehingga Kota Yerevan pun akrab dengan sebutan Kota Pink.
Armenia memang dikaruniai oleh kekayaan alam berupa batu untuk bahan bangunan yang berasal dari batu vulkanik dan berwarna pink. Jenis batu tersebut hanya ada di Armenia.
Kekayaan batu alam yang melimpah, disertai bakat dan jiwa seni bangsa Armenia merupakan sebuah perpaduan yang sempurna untuk menciptakan sebuah bangunan dengan seni arsitektur yang sangat indah.
Adalah arsitek Alexander Tamanyan yang menjadi "bapak Kota Yereven modern" karena melalui keterampilan dan tangan dinginnya, kota tersebut menjelma menjadi kota dengan kreasi yang unik, berdampingan dengan harmoni bangunan kuno yang klasik.
Ciri khas karya Tamanyan adalah bangunan yang menggunakan bahan batu vulkanik yang sumbernya sangat melimpah di Armenia. Ciri batu tersebut adalah ringan, sangat keras dan indah.
Tamanyan merancang kota Yerevan dan Republic Square tersebut setelah terinspirasi dengan bentuk arsitektur kota Paris dan Vienna. Sehingga tidak mengherankan, jika berjalan di kota Yerevan, akan mengingatkan pada kota di Eropa, meski secara geografis Armenia berada di Benua Asia.
Yerevan bisa dikatakan sebagai Kota Seni karena berhiaskan banyak museum, galeri dan gedung konser yang sebagian besar dibangun saat Armenia berada di bawah kekuasaan Uni Soviet.
Seperti banyak negara lain yang dipengaruhi oleh cita rasa seni Uni Soviet, masyarakat Armenia sendiri sebenarnya juga memiliki bakat seni tinggi di bidang musik dan kerajinan tangan yang terpelihara selama berabad-abad.
Kondisi tersebut membuat Yerevan menjadi pusat peradaban yang menawarkan perpaduan antara tradisi dan seni modern. Di berbagai sudut taman kota, banyak ditemui pelukis yang menjajakan karya mereka.
Wisatawan yang mempunyai ketertarikan di bidang seni dan sejarah akan terpuaskan oleh banyaknya museum dan galeri yang tersebar di berbagai sudut Kota Yerevan, baik museum yang dikelola secara pribadi maupun milik negara.
Pusat Seni Cafesjian atau yang lebih dikenal dengan Kompleks Cascade, adalah salah satu tempat yang harus dikunjungi di Yerevan.
Kompleks tersebut pada awalnya digagas oleh arsitek Tamanyan yang bercita-cita menyambungkan bagian pusat dan utara kota - pemukiman bersejarah dan pusat kota- dengan sebuah area hijau yang dilengkapi air mancur dan taman kota yang berbentuk memanjang.
Tapi gagasan tersebut sempat terlupakan sebelum akhirnya dihidupkan kembali oleh arsitek Jim Torosyan pada 1970-an.
Torosyan tetap menggunakan konsep Tamanyan, tapi dikembangkan dengan ide-ide baru, termasuk pembangunan ruang pamer di setiap lantai yang dihubungkan dengan tangga eskalator, taman terbuka yang memamerkan patung karya Fernando Botero asal Kolombia, yaitu patung manusia dan kucing bertubuh gemuk.
Mereka yang gemar berbelanja bisa menemukan banyak pilihan di pasar rakyat Vernissage yang lokasinya berdekatan dengan Republic Square. Di sana dapat ditemukan berbagai barang seni dan kerajinan lain, mulai dari lukisan, pakaian, kerajinan perak, tikar, sampai tatakan gelas.
Wisatawan Muslim juga bisa berkunjung dan sekaligus menjalankan ibadah sholat di Mesjid Biru (Blue Mosque), komplek seluas 7.000 meter persegi yang dibangun pada 1765.
Masjid Biru yang dikelola oleh warga Armenia keturunan Iran, adalah satu-satunya tempat ibadah yang tersisa dari tujuh masjid yang ada sebelumnya. Enam masjid lainnya ditutup atau berubah fungsi ketika Armenia berada di bawah kekuasaan komunis Uni Soviet.
Terdapat banyak tempat lain yang bisa dikunjungi di Yerevan, di antaranya adalah Museum Manuskrip yang memperlihatkan penghargaan masyarakat Armenia terhadap perjalanan sejarah, serta Museum Genosida yang memperlihatkan korban pembantaian warga Armenia oleh pasukan Turki.
Isu genosida menjadi "kerikil" dalam hubungan Turki dengan Armenia karena sampai sekarang Pemerintah Turki tidak pernah mengakui melakukan kekejaman seperti itu, sementara Armenia menuntut Turki untuk meminta maaf atas peristiwa kelam yang terjadi pada 1915 itu.
Sejarah Panjang
Terletak di lembah pegunungan Ararat, Ibu kota Armenia Yerevan, telah melalui sejarah panjang yang penuh invasi dari satu kekuasaan ke kekuasaan lain.
Pada abad ke-17 sampai 19, Yereven ibarat "buah apel" yang diperebutkan oleh tiga kekuatan besar ketika itu, yaitu Rusia, Turki dan Persia. Meski setidaknya terjadi 14 kali pergantian kekuasaan atas Yerevan, kota tersebut berhasil mempertahankan keindahan yang ada dan bahkan terus berkembang dengan memadukan unsur sejarah dan pembangunan modern, sampai sekarang.
Sebagai salah satu kota paling bersejarah di dunia, penamaan Yerevan pun diwarnai oleh banyak kisah dan cerita menarik.
Salah satu kisah tersebut berhubungan dengan Nabi Nuh dan bahteranya. Disebutkan bahwa ketika bahtera mendarat, Nuh kemudian keluar dari bahteranya dan melihat Yerevan. Dalam hal ini, penamaan Yerevan berasal dari kata "Yereval" yang dalam bahasa Armenia berarti "terlihat".
Menurut kisah yang lain, nama Yerevan muncul setelah melalui perjalanan waktu yang sangat panjang, diawali dari berdirinya benteng yang bernama Erebuni pada abad ke-8 sebelum masehi.
Dalam rentang waktu tersebut, penyebutan maupun penulisan Erebuni mengalami perubahan dari Erevuni, Erevani, Erevan dan akhirnya Yerevan seperti sekarang ini.
Namun kisah yang kemungkinan paling mendekati kebenaran adalah bahwa nama Yerevan berhubungan dengan nama pendiri kota tersebut, yaitu Argisthi I, yang ketika itu merupakan Raja Ara I.
Ketika itu, kota dinamai Aravan, yang berarti Kota Ara. Asumsi tersebut tidak berlebihan mengingat fakta sejarah bahwa raja-raja Armenia selalu menamai kota dengan nama mereka.
(A032/T007)
Oleh Atman Ahdiat
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017