"Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan kembali, karena salah satunya dari kondisi geografis tidak semua daerah siap dalam penerapan kebijakan tersebut," kata Ketua PGRI Sumbar, Zainal Akil di Padang, Kamis.
Ia menambahkan banyak dampak yang akan timbul akibat dari penerapannya, beberapa siswa harus berjalan jauh untuk mencapai sekolah, sehingga dengan adanya kewajiban delapan jam dalam sehari berada di sekolah akan mengakibatkan siswa kelelahan ketika pulang ke rumah.
"Siswa yang jarak rumahnya jauh dan harus berjalan kaki untuk mencapai sekolah, bisa saja akan kemalaman ketika sampai di rumah," ujarnya.
Kemudian, kurangnya sosialisasi siswa dengan orang tua dan lingkungan masyarakat, akan berdampak kepada psikologis dan kepribadian siswa karena waktu lebih banyak dihabiskan di sekolah.
"Untuk kota-kota besar hal itu memang cocok untuk diterapkan, karena mayoritas orang tua sibuk dan tidak memiliki cukup waktu untuk mengurus anak, tetapi untuk daerah yang bukan merupakan kota besar hal itu tidak cocok," lanjutnya.
Kemudian, dari segi sarana dan prasarana sekolah, tidak semua sekolah memiliki fasilitas yang mumpuni dalam rangka mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut.
Ia berharap, pemerintah dapat mempertimbangkan hal itu kembali, sehingga tidak menimbulkan dampak dikemudian hari.
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan akan melakukan penerapan kebijakan delapan jam belajar dengan lima hari sekolah di tahun ajaran 2017/2018.
Kebijakan itu merupakan implementasi dari program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang menitik beratkan lima nilai utama, yaitu religius, nasionalis, gotong royong, mandiri, dan integritas.
"Peraturan terkait hal tersebut segera diterbitkan dan segera kita sosialisasikan," tambah dia.
Pewarta: Miko Elfisha
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017