Persidangan dengan agenda pembacaan dakwaan ini dipimpin Didiek Jatmiko dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejati NTB, diwakili Sahdi dan Baiq Nurul.
Namun SA menjalani persidangan tanpa didampingi penasihat hukum.
Saat Majelis Hakim mempertanyakan alasannya, SA dengan percaya diri mengatakan kalau dirinya mampu menjalani persidangan tanpa harus didampingi penasihat hukum.
"Mungkin ini sudah rencana Allah SWT, biarkan Allah SWT yang mendampingi saya," kata SA menjawab pertanyaan Didiek Jatmiko dalam persidangannya di Pengadilan Negeri Mataram, Kamis.
Meski demikian, Majelis Hakim kemudian menawarkan kepada SA untuk didampingi oleh penasihat hukum yang bertugas di Pengadilan Negeri Mataram.
Seolah berupaya untuk tetap menunjukan sikap kooperatifnya, SA enggan menolak tawaran Majelis Hakim dan menerima pendampingan.
"Kalau begitu untuk sidang selanjutnya, terdakwa akan didampingi penasihat hukum dari Pengadilan Negeri Mataram, dengan menunjuk Deny Nur Indra," kata Didiek.
Usai menyepakati hal tersebut, sidang dilanjutkan dengan agendanya, yakni pembacaan dakwaan yang kemudian dibacakan oleh JPU yang diwakili Baiq Nurul.
Dalam dakwaannya, terdakwa diduga telah menyebarluaskan dalam bentuk selebaran tentang ajaran Islam yang menyimpang ke sejumlah instansi maupun sekolah yang ada di wilayah Mataram.
Menurut pemahaman terdakwa yang tersirat dalam selebaran tersebut, ajaran Islam yang sebenarnya hanya berpedoman pada Al-Quran, bukan mengikutsertakan Al-Hadis dan sunnah Rasulullah SAW.
Karena itu, dalam praktek sholatnya, terdakwa tidak melaksanakannya sesuai yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, melainkan cukup dengan niat di dalam hati.
"Menurut pemahaman terdakwa, praktek sholat tidak ada disebutkan dalam Al-Quran, begitu juga dengan dua kalimat syahadat, tidak ada tersirat dalam Al-Quran," ujar Baiq Nurul membacakan dakwaannya.
Karena itu, terdakwa dalam sangkaan Pasal 156 KUHP tentang Penodaan Agama terancam pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.500.
Sedangkan untuk Pasal 156-a KUHP, SA terancam pidana penjara paling berat lima tahun.
"Jadi untuk SA ini dakwaan alternatif, bisa salah satu atau keduanya," ujar Sahdi menambahkan.
Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017