Peningkatan pengetahuan, teknik dalam menangani, teknik dalam membuktikan, teknik dalam menangani banding, sampai sejauh mana sudah menerapkan standar pembuktian."

Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi UI Ine S. Ruky meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) lebih selektif dan berhati-hati dalam menyikapi persoalan persaingan usaha.

Ine S. Ruky dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa, mengatakan, hal ini penting karena terkait dengan keberlangsungan usaha dan daya saing bisnis di Tanah Air.

Ine yang ahli ekonomi persaingan usaha itu, menyatakan bahwa tidak semua aduan atau persoalan harus ditindaklanjuti dengan dasar monopoli atau persaingan.

"Perlu dipelajari pula dasar kepentingan keberlangsungan ekonomi," katanya.

Menurut dia, KPPU sebagai regulator tidak hanya berfungsi sebagai lembaga penegak hukum dalam kacamata persaingan, tapi juga harus memperhatikan "rule of reason" yang memerlukan pembuktian mengenai dampak.

"KPPU harus bisa menciptakan iklim usaha yang kondusif, transparan agar industri di Indonesia tumbuh dan berkembang," katanya.

Ine mengatakan pendekatan "rule of reason" dibutuhkan lembaga persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu.

"Hal ini guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan," katanya.

Ine menyebutkan pengertian persaingan sendiri masih menjadi polemik, menurut doktrin A dan doktrin B dalam perspektif ilmu ekonomi bisa berbeda, ini yang harus diselaraskan dalam pertimbangan KPPU.

Ia menjelaskan bahwa pengertian monopoli tidak selamanya negatif.

Dalam kacamata ilmu ekonomi dan bisnis, monopoli dalam kondisi tertentu diperlukan perusahaan agar usahanya lebih efisien.

Apalagi jika memang perusahaan tersebut unggul serta produknya lebih disukai konsumen.

"Seringkali sebuah metode praktik bisnis dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan, bukan untuk menyingkirkan pesaing atau mematikannya," jelas Ine.

Sejauh perusahaan lain mempunyai akses di luar distributor subtansial, tidak masalah, tambahnya.

Sebab antara perusahaan dalam mengembangkan bisnisnya ada kontrak subtansial untuk mengoptimalkan bisnis mereka.

"Saat ini kan sudah lumrah perusahaan manufaktur melakukan perjanjian eksklusif dengan distributornya. Di mana produk yang mereka jual harus sesuai dengan perjanjian tidak boleh menjual produk lain. Misal, Honda dengan dealer atau distributornya yang memang hanya boleh menjual motor Honda. Tidak ada yang dirugikan karena mereka melakukan perjanjian eksklusif dengan dealer Honda sendiri. Sementara merek lainnya silakan menjual di dealer lain dan melakukan perjanjian yang sama," katanya.

Hal ini pula yang terjadi pada PT Tirta Investama produsen merek air mineral Aqua yang melakukan kerja sama dengan salah satu distributornya.

Ine menilai langkah tersebut wajar karena memang terkait dengan kepentingan bisnis perusahaan dimana distributor lain masih bisa melakukan penjualan di tempat lain atau bahkan kerja sama dengan distributor luar yang belum terikat kerja sama dengan Tirta Investama.

"Saya kira kalau ada pengaduan monopoli terhadap suatu produk terkait kasus seperti ini sebaiknya KPPU tidak melanjutkannya. Apalagi perusahaan yang mengadukan perkara juga tumbuh dan berkembang bahkan dengan pesat. Perusahaan tersebut juga masih bisa mendistribusikan produknya di tempat lain," katanya.

Sebab itu, dia menekankan KPPU harus memiliki kriteria proses, dan indikator dalam menangani masalah monopoli. Beberapa pasal dalam UU No 5 Tahun 2009 menurut dia juga harus direvisi karena masih butuh penjelasan.

"Jika tidak dilakukan revisi bisa membuat daya saing usaha di Tanah Air lemah," katanya.

KPPU dinilainya harus memiliki standar pembuktian yang relatif sama dengan negara lain. Ada metedologi dan standar dalam pembuktian suatu kasus persaingan usaha.

"Peningkatan pengetahuan, teknik dalam menangani, teknik dalam membuktikan, teknik dalam menangani banding, sampai sejauh mana sudah menerapkan standar pembuktian," kata Ine.

Ia menambahkan pada saat revisi UU No 5 Tahun 1999 masalah ini belum disentuh DPR sama sekali.

"Belum direvisi. Padahal secara konsep banyak kelemahan yang substansif. Jika terus berlanjut, banyak perusahaan yang bisa dihukum karena praktik bisnis yang padahal memang seharusnya dilakukan," kata Ine.

Pewarta: Hanni Sofia Soepardi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017