Postdam, Jerman (ANTARA News) - Para menteri keuangan negara-negara kelompok industri maju G8, akhir pekan lalu, di Jerman membahas tentang imbal hasil dan pembentukan pasar saham di negara-negara berkembang, namun mereka malah terancam kehilangan kredibilitas atas pasar uang karena tidak berbuat apa-apa dalam perkembangan terakhir. Meskipun terjadi fluktuasi tajam di pasar uang dunia dalam beberapa pekan terakhir, G8 tetap enggan bereaksi atas beberapa fenomena terakhir seperti praktek "carry trades". "Saya harus mengatakan bahwa G8 terancam kehilangan kredibilitas mereka atas pasar uang," kata Neil Mackinnon, ekonom utama ECU Group, kepada Thomson Financial. Walaupun G8 memang tidak selalu membahas isu-isu mata uang, Mackinnon mengatakan dirinya cukup "terkejut" ketika para Menteri Keuangan itu sama sekali tidak membahas posisi pasar uang terkini, yang banyak dianggap sebagai "pembelokan". "Sehingga, ada kemungkinan masalah itu akan semakin memburuk," tambahnya. Kekecewaan Mackinnon terutama akibat praktek "carry trades" yang dianggapnya sebagai "bom waktu". Praktek "carry trades", dimana investor meminjam dana dalam mata uang dengan bunga rendah seperti yen dan franc Swiss untuk kemudian diinvestasikan di tempat lain, tengah populer, meski para menteri G7 telah telah mengingatkan bahaya "pertaruhan satu arah". Pada pertemuan terakhir G7 di Washington April lalu, euro menguat hingga rekor tertinggi terhadap yen dan tetap menguat terhadap franc Swiss. Bahkan, Menteri Keuangan Jerman, Peer Steinbrueck, sama sekali tidak menyuarakan kekhawatiran atas nilai tukar euro atau yen dengan Menteri Keuangan Jepang Koji Omi. Ketika ditanya apakah Steinbrueck menunjukkan adanya kekhawatiran terhadap nilai euro terhadap yen Jepang, Omi mengatakan, "itu tampaknya tidak menjadi masalah". Meski demikian, ada satu mata uang yang dibahas oleh para menkeu G8, yaitu yuan China, mengingat keputusan bank sentral China untuk meningkatkan fleksibilitas yuan. Selain menaikkan giro wajib minimum 50 basis poin untuk mendinginkan ekonomi, People`s Bank of China juga menurunkan batasan perdagangan yuan terhadap dolar AS menjadi 0,5 persen dari sebelumnya 0,3 persen. Langkah itu tidak terlalu dianggap oleh para menkeu G8 dan hanya dianggap sebagai upaya pemerintah China untuk mencegah kritik yang muncul menyusul pertemuan pada akhir pekan mendatang antara Menkeu AS Hank Paulson dan delegasi tingkat tinggi China. "Butuh dua tahun bagi China untuk mengurangi perbankan mereka, namun jelas ada kekecewaan di antara para menkeu karena kemajuan yang lambat," kata Simon Derrick, analis mata uang di Bank of New York. Pada Juli 2005, China mengumumkan mereka mengacuhkan rencana pematokan yuan terhadap dolar AS dan mengatakan bahwa itu akan dikaitkan dengan beberapa mata uang tidak terkenal dan hanya boleh diperdagangkan pada kisaran harian plus atau minus 0,3 persen. Itu dianggap sebagai langkah awal pemerintah China, tetapi kemudian dilihat, seperti langkah sekarang ini, sebagai alat untuk mengurangi kekhawatiran AS, yang mengalami peningkatan defisit transaksi berjalan dalam beberapa tahun terakhir karena posisi perdagangan mereka dengan China. (*)

Copyright © ANTARA 2007