Jakarta (ANTARA News) - Indonesia sejak awal Juli 2006 sudah tak menggunakan lagi timbal (TEL) sebagai aditif untuk meningkatkan Research Octane Number (RON) dalam pengolahan Premium 88 di sejumlah kilang-kilang Pertamina, dalam upaya mendukung program langit biru yang telah dicanangkan pemerintah. "Pertamina sudah melaporkan kepada kami bahwa mereka sudah tidak produksi lagi bensin pakai timbal, karena bila tetap dengan timbal dampaknya akan merusak otak terutama pada anak kecil," ujar Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar kepada pers, di Jakarta, akhir pekan lalu. Menurutnya, di seluruh dunia saat ini sudah tidak diproduksi bahan bakar pakai timbal. Pada dasarnya timbal itu suatu zat tambahan (aditif) yang sangat mudah dibuat dan biayanya lebih murah ketimbang tidak pakai timbal. Namun demikian dampaknya sangat merugikan bagi kehidupan. "Sekarang ada dua pilihan pakai bensin tanpa timbal atau tidak perlu produksi bensin lagi bila harus tetap menggunakan timbal, karena itu sama aja dengan makan racun yang dampaknya ke otak manusia. Ini sudah bukan masalah ramah lingkungan tapi ramah kehidupan yang lebih penting ketimbang lingkungan," tegas Menteri LH. "Jadi, bila dijumpai dilapangan ada produksi bahan bakar minyak pakai timbal itu jelas melanggar keputusan Menteri Lingkungan Hidup. Bila melanggar ini ada sanksinya dan Pertamina sudah berhasil produksi BBM tanpa timbal," jelasnya. TEL (Tetra Ethyl Lead) atau yang biasa dikenal dengan Timbal adalah sebuah senyawa kimia yang digunakan sebagai aditif dalam bahan bakar minyak (BBM) untuk meningkatkan angka oktan. Penggunaan TEL dibeberapa negara telah dilarang karena karena kadar senyawa kimianya yang dapat membahayakan manusia. Sesuai dengan spesifikasi kendaraan guna meningkatkan performa mesin, dibutuhkan bahan bakar yang memiliki angka oktan tinggi. Karena oktan dapat meningkatkan kemampuan daya bakar bensin. Semakin tinggi oktan maka kemampuan daya bakarnya semakin cepat. Dengan BBM jenis bensin tanpa timbal yang ada saat ini dipasaran yaitu Premium-88, Pertamax-92, Pertamax Plus-95, Pertamina sudah melakukan standarisasi kepedulian terhadap kelestarian lingkungan dan kesehatan. Langkah ini diambil Pertamina didukung oleh berbagai masukan seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Gaikindo, dan LSM. Selain itu, juga didukung oleh hasil riset terhadap tingginya kadar timbal (TEL) dalam darah sebagian penduduk Indonesia di beberapa kota dan kajian dampak negatif timbal terhadap kesehatan anak-anak maupun orang dewasa. Sedangkan berdasarkan hasil riset dari USAID dan USEPA terhadap dampak biaya sosial dari aplikasi timbal (TEL) di Amerika Serikat kerugiannya mencapai hingga 716 juta dolar AS dalam lima tahun. Dalam upaya mendukung program Langit Biru Indonesia seperti tertuang dalam UU No. 23/1997 dan instruksi Menteri Lingkungan Hidup RI tahun 2000 untuk penghapusan bensin bertimbal secara bertahap di seluruh Indonesia, maka Pertamina sejak 1 Juli 2006 tidak lagi menggunakan Timbal (TEL) sebagai Octane Booster yaitu zat aditif untuk meningkatkan angka oktan dalam pengolahan Premium 88 di kilang-kilang Pertamina. Sebelumnya, produksi premium saat masih menggunakan TEL terdiri dari 12,5 persen HOMC dan 87,5 persen Naphta. Sedangkan melalui Program Langit Biru, Pertamina menggantikan penggunaan Timbal sebagai octane booster dengan HOMC (High Octane Mogas Component) yaitu senyawa yang lebih ramah lingkungan dan lebih cocok dengan spesifikasi kendaraan yang menggunakan catalytic converter. Penggunaan HOMC pada Premium saat ini, setelah tidak menggunakan TEL komposisinya adalah 30 persen HOMC dan Naphta 70 persen. Hingga saat ini, produksi HOMC dalam negeri masih belum mencukupi kebutuhan untuk memproduksi Premium 88 sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, pola impor perlu dilakukan untuk pemenuhan konsumsi dalam negeri tersebut. Pertamina hanya mengimpor sebagian kekurangan HOMC karena kilang-kilang Pertamina telah memproduksi HOMC untuk pembuatan Bensin Premium, Pertamax, maupun Pertamax Plus. Sejalan dengan semangat efisiensi, maka Pertamina terus mengupayakan optimalisasi produksi HOMC melalui unit-unit pengolahan seperti UP III Plaju, UP IV Cilacap, UP V Balikpapan, UP VI Balongan dan UP VII Kasim, guna menekan ketergantungan HOMC impor dan diharapkan dapat menekan cost yang timbul dari pengadaan impor tersebut. Dari segi bisnis, Pertamina menjalankan kebijakan ini sesuai dengan UU No.22/2001 dimana perusahaan harus mampu mempertahankan etika bisnis, citra dan persaingan dengan perusahaan asing dalam memasarkan produk-produk migas didalam negeri, khususnya untuk bisa memproduksi BBM yang ramah lingkungan dan tidak berbahaya bagi kesehatan. (*)
Copyright © ANTARA 2007