Semarang (ANTARA News) - Ribuan guru yang tergabung dalam Persatuan Guru Karyawan Swasta Indonesia (PGKSI) Jateng menuntut Pemprov Jateng menetapkan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) bagi guru karyawan swasta dan sekaligus mengakomodasi kesejahteraan mereka. "Sampai saat ini belum ada ketetapan UMK yang menyebabkan kesejahteraan guru swasta kota/kabupaten masih sangat memprihatinkan," kata Ketua Umum PGKSI Jateng Drs. Muh Zen, Adv. di sela-sela mengikuti peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-1 PGKSI dan orasi pendidikan di halaman DPRD Jateng, di Semarang, Minggu. Ia mengutarakan, tahun lalu, PGKSI yang beranggotakan kurang lebih 159.000 guru swasta ini telah mengadakan pertemuan dengan Menteri Aparatur Negara, Menteri Pendidikan Nasional, dan Menteri Agama yang difasilitasi komisi DPR-RI untuk membahas permasalahan tersebut. Saat itu disepakati bahwa untuk mengakomodasi guru swasta, pemerintah akan mengeluarkan PP khusus yang mengatur guru swasta. "Tetapi hingga sekarang belum jelas bagaimana keberadaannya," katanya menegaskan. Padahal, katanya, keberadaan guru swasta di daerah tidak kalah penting dengan peran guru negeri. Sebagai contoh, menurut data di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng, jumlah guru berstatus PNS dan tidak mengajar di sekolah negeri tercatat 222.244 guru. Sedangkan jumlah guru swasta mencapai lebih dari 300.000 guru. Menurut dia, mengapa justru peran guru swasta seperti dinomor duakan oleh pemerintah. Padahal peran mereka di pendidikan tingkat daerah justru lebih besar. "Sebagai contoh, di tingkat Kecamatan, sekolah negeri paling-paling hanya ada satu, bandingkan dengan sekolah swasta yang bisa mencapai dua sampai tiga," katanya. Menurut Bendahara PGKSI Kabupaten Semarang, Syaerofi, selama ini bantuan untuk guru swasta hanya didapat berdasarkan Bantuan Khusus Guru (BKG) dari Depag pusat dan APBD II. Namun, katanya, sampai saat di Kabupaten Semarang yang sudah mendapat alokasi dana APBD II baru tingkat MI, sedangkan untuk MTs dan Aliyyah banyak yang belum menerima. "Jumlahnya pun berbeda-beda antar kota/kabupaten. Di Kabupaten Semarang ada yang sampai Rp200.000,00 per tahun, tapi ada juga di Kabupaten Temanggung yang hanya Rp33.750,00 per tahun," katanya. Padahal gaji guru bantu swasta atau wiyata bhakti di beberapa kota/kabupaten ada yang hanya Rp75.000,00 per bulan, itu pun kadang pembayarannya sering terlambat, tergantung yayasan, katanya menambahkan. Menurut Syaerofi, dari kesejaheraan, guru swastra masih kalah dengan buruh pabrik. Buruh pabrik ada ukuran standar, yaitu IMR, tetapi untuk guru swasta tidak ada standarnya. "Padahal dilihat dari segi pendidikan, umumnya guru lulusan D3 dan S1, sedangkan buruh hanya tamatan SMA," kata dia. Menurut Wakil Ketua DPRD Jateng Abdul Kadir Karding yang saat itu hadir, pemerintah daerah sampai saat ini sudah berusaha mengakomodasi kepentingan guru swasta. Namun untuk saat ini, tambah dia, alokasi dana APBD difokuskan dulu untuk perbaikan infrastruktur sekolah daerah yang kondisinya masih memprihatinkan. "Tentunya untuk masalah alokasi dana, guru swasta juga harus mau memaklumi adanya alokasi pos-pos lain untuk perbaikan selain masalah gaji guru," katanya menambahkan. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007