Yangoon, Myanmar (ANTARA News) - Ketika Nwe Nwe Oo meninggalkan Propinsi Rakhine menuju pusat ekonomi dan ibukota, Yangon, bermodalkan uang 590 dolar AS (Rp7,8 juta), wanita itu berharap terhindar dari perburuan terhadap suku kecil Muslim serta bisa mengawali kehidupan baru.
Sebelum meninggalkan Rakhine, Nwe dan keluarga tinggal di pengungsian untuk keluarga terpisah akibat kekerasan pada 2012.
Selama dua bulan di kota berjarak 500km dari Rakhine tersebut, janda berusia 50 tahun itu sudah menghabiskan lebih dari separuh uangnya untuk menyewa kamar berukuran delapan meter persegi.
Sambil mencari kerja dengan biaya hidup tinggi di Yangon, ia harus bisa bertahan hidup demi dua putrinya.
"Apa yang akan kami makan jika semua uang sudah habis? Kami semua sangat cemas. Saya tidak bisa menemukan pekerjaan disini," kata Nwe. Keluarga tersebut sangat tergantung kepada anak tertua dengan gaji 88 dolar AS (Rp1,1 juta) sebulan di pabrik teh.
Pemerintah Myanmar yang berdasarkan rekomendasi dari mantan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, sejak April lalu telah menutup kamp pengungsi yang didiami Nwe, di kota Ramree.
Dalam waktu lima tahun ke depan, seluruh kamp pengungsi yang ada di Propinsi Rakhine tersebut sudah harus ditutup.
Para pengiat kemanusiaan mendukung keputusan penutupan tersebut, tapi mengecam cara pemerintah menangani penutupan tersebut karena dianggap bisa memberikan preseden mengkhawatirkan saat menangani kamp yang lebih besar di Rakhine dengan jumlah puluhan ribu pengungsi.
Mark Cutts, kepala Badan PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusian (OCHA) di Myanmar, jika tidak ada usaha untuk membawa perdamaian dan stabilitas di Rakhine, penutupan kamp tersebut hanya akan memindahkan masalah ke tempat lain.
Nwe memang tidak punya banyak pilihan selain pindah ke Yangoon karena menurut pemerintah, kamp pengungsi di Ramree, kota di selatan Propinsi Rakhine, tidak aman bagi 128 pengungsi Muslim yang ada di sana.
"Kami tidak punya cukup polisi untuk mencegah jika kerusuhan terjadi lagi," kata Ming Aung, juru bicara Negara Bagian Rakhine.
"Itulah sebabnya kami mengizinkan mereka pindah ke tempat lain yang mereka inginkan," katanya.
Keluarga Nwe berasal dari minoritas Muslim Kaman yang tidak seperti kebanyakan Muslim Rohingya dari utara Rakhine, berkewarga-negaraan Myanmar dan secara resmi diakui sebagai kelompok suku.
Rumah-rumah kaum Muslim Kaman di wilayah Ramree, dibakar saat terjadi kerusuhan antara kelompok Islam dan Budha Rakhine pada 2012 yang menelan korban hampir 200 orang dan membuat ribuan lain kehilangan tempat tinggal.
"Pemerintah yang baru membantu kami pindah ke Yangoon, tapi apa yang diharapkan adalah kembali ke tanah kelahiran kami. Saya tidak tahu apakah itu bisa terjadi," kata Nwe.
Nwe adalah salah satu di antara hampir 100 Kaman Muslim dari kamp pengungsi yang sejak April lalu diberi tiket bus, pesawat udara dan serta bantuan keuangan jika mereka bersedia meninggalkan arena yang mayoritas Budha.
Menurut Mark Cutts dari OCHA, kelompok Kaman Muslim mengatakan kepada petugas PBB, mereka tidak dibolehkan kembali ke tanah asal mereka dan tidak diberi pilihan lain selain pergi.
Namun berbeda dengan kelompok Kaman Muslim, pemerintah pada April lalu menempatkan kembali sekitar 300 suku Rakhine, yang beragama Buddha, ke 65 rumah di kawasan Kyauk Pyu.
Setiap keluarga diberi santunan sebesar 294 dolar AS (Rp3,9 juta) untuk menempati rumah baru yang dilengkapi dengan air bersih, listrik dan sistem drainase.
Menurut kelompok hak azasi manusia, jika kaum Kaman tidak diizinkan kembali ke daerah asal mereka, maka hanya ada sedikit solusi yang bisa dicapai bagi 120.000 kelompok Muslim Rohingya yang sampai sekarang masih tidak diakui sebagai warga negara Myanmar, meski mereka sudah turun temurun tinggal di Rakhine.
"Jika pemerintah tidak memfasilitasi kembalinya etnis Muslim Kaman, sebuah kelompok yang secara resmi diakui sebagai warga negara, harapan apa yang bisa diperoleh warga Rohingya?" kata Lara Haigh, peneliti dari Amnesti Internasional.
Warga Kaman mengatakan, kondisi yang seperti pemerintahan apartheid di Ramree, karena pengemudi bus tidak mau membawa kaum Muslim, tidak diberi peluang sama untuk mendapatkan pekerjaan yang layak serta pendidikan bagi anak-anak.
"Saya benar-benar mencintai tanah kelahiran saya, tapi saya akan menghadapi banyak masalah jika tetap tinggal disana," kata Tin Hla, seorang ayah empat anak berusia 55 tahun.
Beberapa mantan penghuni kamp pengungsi tetap berharap dan yakin penutupan kamp bisa meningkatkan taraf hidup mereka sehari-hari.
Kembali ke daerah pinggiran Yanggon, Kyaw Soe Moe, asal etnis Kaman Muslim berusia 28 tahun, sudah tidak sabar menunggu hasil wawancara untuk mendapakan pekerjaan di perusahaan pembangunan.
Meski hidup di Yangon, kota terbesar di Myanmar, itu akan lebih sulit; namun Kyaw tetap yakin kondisi itu akan lebih baik bila dibandingkan dengan kampung pengungsi Ramree.
"Setidak-tidaknya ada kebebasan di sini," katanya.
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017