"Sesuai aturan, pengalokasikan frekuensi harus digelar melalui proses lelang. Jika ada (alokasi) tanpa lelang, itu jelas merupakan tindak pidana," kata Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Ridwan Effendi, ketika dihubungi di Jakarta, Rabu.
Menurut mantan Komisioner di Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) itu, jika Kementerian Kominfo mengalokasikan frekuensi 2,3 GHz kepada perusahaan yang sama sekali tidak pernah ikut lelang maka itu melanggar peraturan yang dibuatnya sendiri.
Saat ini diketahui operator eksisting sedang menunggu Kemenkominfo melakukan lelang spektrum frekuensi 2,1 GHz dan 2,3 GHz. Namun, diperkirakan tertunda seiring belum tuntasnya kasus PT Corbec Communication (Corbec) yang memicu terhambatnya penerbitan rancangan peraturan menteri (RPM) mengenai tatacara lelang frekuensi.
Beberapa waktu lalu, Corbec, sebagai penyelenggara jaringan tetap lokal packet switch menggugat Menkominfo ke PTUN karena tidak kunjung mendapat alokasi nomor/kode akes padahal sudah memegang lisensi jaringan tetap lokal.
Dalam putusan Pengadilan Tinggi Negeri (PTUN) No. 37/G/2009/PTUN-JKT disebutkan bahwa Kominfo diminta untuk menerbitkan izin penyelengaraan Jaringan Tetap Lokal Berbasis Packet Swicted dengan cakupan nasional dengan layanan voice dan data dengan network based fixed and mobile yang dapat terhubung dengan jaringan lainnya atau mendapat interkoneksi dari penyelenggara lainnya dengan menggunakan kode akses (0)86X(Y).
Namun, Kemenkominfo beralasan bahwa tidak memberi nomor karena dalam aturan belum diatur ketentuan routing atau interkoneksi untuk jaringan tetap packet switch, walaupun kode aksesnya (086xx) ditetapkan dalam KM No.28/2004.
Menurut Ridwan, sebaiknya persoalan Corbec seharusnya dikesampingkan terlebih dulu dan Kemenkominfo fokus pada kebutuhan operator telekomunikasi yang saat ini membutuhkan kapasitas.
"Saya lebih setuju jika 2,3 GHz untuk operator yang benar-benar butuh kapasitas saja sekaligus untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Makanya sebaiknya lelang saja langsung sisa 30 MHz semuanya agar ada pemain selular tambahan dan menciptakan kompetisi," saran Ridwan.
Sementara itu, pengamat hukum Universitas Trisakti, Asep Iwan Irawan menilai saat ini Kominfo sebaiknya menjalankan amar putusan putusan Pengadilan Tinggi Negeri (PTUN) No. 37/G/2009/PTUN-JKT yang diperkuat dengan putusan Mahkamah Agung.
"Siapa pun harus menghormati putusan yang telah dibuat oleh lembaga peradilan dan Mahkamah Agung. Tinggal pemerintah jalankan saja amar putusan PTUN yang diperkuat dengan putusan MA," ujar Asep.
Hal senada diungkapkan Guru Besar Tetap Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia, Prof. Anna Erliyana, bahwa Kominfo harus berpegang pada putusan MA menjalankan saja putusan PTUN tersebut sehingga memberikan kepastian hukum bagi Corbec.
Sedangkan Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kementerian Kominfo, Ismail, sejak awal juga sudah menegaskan sikap dari pihaknya dalam kasus ini.
"Kominfo menghormati rekomendasi dari Ombudsman, tapi kami tetap berpegang teguh pada putusan MA," ujar Ismail.
(T.R017/A011)
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017