"Di era demokratisasi, penerapan konsep single mux berpotensi menciptakan praktik monopoli yang diharamkan Undang-Undang Anti Monopoli," kata Ketua Umum TVSI Ishadi SK dalam "Bincang-bincang Dunia Penyiaran Masa Depan" di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, penerapan single operator akan berdampak kepada lembaga penyiaran swasta (LPS) yang akan menghadapi ketidakpastian karena frekuensi yang menjadi roh penyiaran sekaligus menjadi jaminan terselenggaranya kegiatan penyiaran dikelola oleh satu pihak saja.
Penerapan operator tunggal menurut dia juga berdampak pada pemborosan investasi infrastruktur yang sudah dibangun, bahkan berimbas pada pemutusan hubungan kerja karyawan stasiun televisi yang selama ini mengelola infrastruktur itu.
Menurut dia yang cocok adalah sistem hybrid atau penyelenggaraan penyiaran digital oleh beberapa operator baik lembaga penyiaran pemerintah (LPP) maupun LPS.
"Sistem hybrid merupakan solusi dan bentuk nyata demokratisasi penyiaran," kata Ishadi.
Ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala mengatakan pemerintah dan DPR harus mendengarkan dan memperhatikan aspirasi masyarakat dan pemain dalam industri penyiaran bila ingin merumuskan dan memutuskan aturan baru terkait penyiaran.
"Hal ini untuk mencegah matinya iklim kompetisi pada industri penyiaran kelak," kata dia.
Menurut dia, Pemerintah melalui Menkominfo seharusnya menjadi pihak yang menjamin tumbuhnya iklim kompetisi yang sehat dalam industri penyiaran.
Terkait dengan masih sedikitnya kontribusi industri penyiaran pada pendapatan negara bukan pajak (PNBP), menurut dia harus dimaklumi karena pemainnya lebih dari 1.000 stasiun televisi dan hanya mengandalkan pemasukan dari iklan, sementara layanan yang diberikan cuma-cuma.
"Berbeda dengan industri telekomunikasi yang jumlah pemainnya hanya tujuh operator dan konsumen membayar untuk mendapatkan konten atau layanannya," kata dia.
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017