Bandung (ANTARA News) - Dikotomi Islam dengan nasionalisme semestinya sudah tidak perlu diperdebatkan lagi, karena bangsa ini akan habis energi kalau terus- menerus mempermasalahkannya, padahal tantangan yang dihadapi bangsa dalam globalisasi begitu besar, demikian PP Muhammadiyah. Siaran pers Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah di Jakarta, Minggu, itu mengutip pendapat Ketua Umum-nya, Prof DR KH Din Syamsuddin, dalam dialog yang digagas Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, di Bandung, 19 Mei 2007. Perdebatan seperti itu, menurut Din Syamsuddin, akan menjadi kontra-produktif, bahkan bisa mengarah pada konfrontasi, karena memang tidak boleh ada klaim kebenaran ideologi. Yang dipentingkan adalah bagaimana menemukan titik temu ideologi untuk membangun sebuah mozaik yang indah. Problem utama bangsa Indonesia adalah aktualisasi diri. Dicontohkan oleh Din, Soekarno pada zamannya telah berhasil mengaktualisasikan nasionalisme dengan mengukuhkan kemandirian dan kedaulatan bangsa di berbagai bidang. Dalam konteks kekinian, bagaimana bangsa ini bisa menang dalam persaingan global, mengalahkan bangsa lain sebagai aktualisasi kontemporer nasionalisme. Kalau tidak, kata Din, Indonesia akan terpelanting dari perlombaan global. Selain Din Syamsuddin, dialog yang mengambil tema "Menabur Solusi Menuai Kedaulatan Pangan dalam Menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Berdasarkan Pancasila dan UUD RI 1945", itu juga menghadirkan Ketua Dewan Pembina Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudohusodo, dan Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Pramono Anung sebagai pembicara. Persoalan lain yang menghambat Indonesia dalam menghadapi tantangan global dewasa ini, menurut Din, adalah negara tidak efektif dalam memecahkan masalah. Setiap masalah tidak diselesaikan secara kategoris, sehingga akhirnya yang terjadi pragmatisme politik, yang juga oportunisme politik, sebagaimana yang terlihat dalam perombakan kabinet yang hanya lebih mengakomodasi kepentingan politik. Menghadapi masalah bangsa yang sedemikian kompleks ini, Din menganjurkan agar berbuat mulai diri sendiri dan dari mana berada. Sementara itu, Siswono Yudohusodo melihat nasionalisme seharusnya diartikan sebagai tekad untuk mengurangi ketertinggalan. Dia gambarkan bagaimana tertinggalnya bangsa Indonesia dari negara-negara tetangga seperti Vietnam, Bangladesh dalam konsumsi makanan bergizi, yang mengakibatkan bangsa ini produktivitas maupun prestasinya rendah. Padahal, untuk membangun bangsa diperlukan makanan bergizi, pendidikan, dan kesehatan. Mengutip pidato Bung Karno saat meletakkan batu pertama pembangunan Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 1953, yang menyebut pangan merupakan hidup matinya bangsa, Siswono menekankan pentingnya kemandirian pangan sebagai satu bentuk aktualisasi nasionalisme. Sementara itu, ketika menyinggung apakah Pancasila masih relevan, Pramono Anung melihat intisari Pancasila kalau diperas menjadi satu, adalah Gotong Royong. Dicontohkannya, kemajuan Cina, India, atau pun Singapura, adalah karena gotong royong. Menurut Pramono, yang bisa membangkitkan gotong royong hanyalah nasionalisme. Kelemahan kita, lanjut Pramono, "Kita tidak bisa menerjemahkan ideologi Pancasila dalam kekinian. Kenapa Indonesia tidak bisa menerjemahkan ajaran Soekarno dalam bahasa kekinian, seperti halnya India menerjemahkan ajaran Gandhi". Hadir dalam dialog itu antara lain Ketua Umum Persatuan Alumni GMNI, Palar Batubara, dan fungsionaris Persatuan Alumni GMNI Jawa Barat, Sekretaris Baitul Muslimin PDIP Zaenul Akmadi, serta Rustam Effendi dan Edy Kuscahyanto, dari Lembaga Hikmah Pengurus Pusat Muhammadiyah. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007