Jakarta (ANTARA News) - Pengamat masalah Timur Tengah dari Universitas Indonesia (UI) Yon Machmudi PhD menilai isolasi oleh sejumlah negara terhadap Qatar tidak lepas dari upaya penguasa Arab Saudi untuk mengukuhkan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah.
"Saudi menginginkan negara-negara Arab yang beraliansi dengan Saudi terutama negara-negara Teluk memiliki kebijakan politik luar negeri yang seragam," katanya menjawab pertanyaan Antara di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, Qatar merupakan negara di Teluk yang menunjukkan sikap independen dan ini terbukti dengan sikap Qatar yang tetap membangun hubungan dengan Iran walaupun Arab Saudi telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Teheran.
Sikap Qatar yang tidak sejalan ini, katanya, menimbulkan ketidaknyamanan bagi penguasa Saudi. Qatar justru ingin memainkan peran penyeimbang di antara dua kekuatan, Saudi dan Iran.
"Demikian juga Qatar lebih memperkuat hubungan dengan Turki ketika beberapa negara Teluk cenderung dingin dengan kebijakan Turki di Timur Tengah dan Dunia Islam," ujar dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI itu.
Isu yang paling panas, lanjut dia, adalah menyangkut tuduhan Saudi dan beberapa negara-negara di Timur Tengah bahwa Qatar memfasilitasi kelompok-kelompok teroris.
"Tuduhan ini ditolak oleh Qatar namun kampanye melawan terorisme di Timur Tengah, paling tidak berhasil mengucilkan Qatar," katanya.
Sebenarnya, yang menjadi persoalan utama adalah sikap Qatar yang cenderung memberi tempat kepada para kelompok oposisi dari beberapa negara di Timur Tengah seperti Mesir, Libya, Yaman maupun Palestina.
Yon mencontohkan, Mesir sangat marah ketika Qatar melindungi ulama Ikhwanul Muslimin (IM) yang terkenal yaitu Yusuf Qaradawi dan menolak untuk menyerahkan kepada Mesir untuk diadili.
Kelompok IM sendiri di Mesir telah dijadikan sebagai kelompok terlarang dan Mesir menginginkan agar kelompok ini dimasukkan dalam list organisasi terorisme.
Mesir juga meminta negara-negara Arab di Teluk untuk menyerahkan orang-orang Mesir yang berafiliasi dengan IM untuk diawasi, termasuk juga mengadili setiap kelompok kritis yang mencoba mengomentari apa yang terjadi di Mesir.
Uni Emirat Arab baru-baru ini juga menangkap seorang akademisi yang tinggal di Emirat karena mengkritisi As-Sisi dalam media sosial.
"Saya khawatir perang melawan terorisme tidak dilakukan secara komprehensif tetapi justru digunakan untuk menyingkirkan lawan-lawan politik. Tendensi Timur Tengah adalah oposisi yang mengancam rezim dengan mudahnya dapat dicap sebagai kelompok teroris," ujarnya.
(Baca: Qatar menahan diri, Saudi cs perluas sanksi)
Qatar bantu Hamas
Di samping karena kedekatan Qatar dengan kelompok IM, Qatar juga aktif memberikan bantuan kepada kelompok Hamas.
"Nah, Oleh Trump kan Hamas disebut sebagai kelompok radikal yang membahayakan perdamaian di Timur Tengah. Sementara Saudi sendiri tidak simpatik pada perjuangan Hamas dan lebih dekat dengan kelompok Fatah," kata peraih gelar PhD dari The Australian National University itu.
Ketidakharmonisan yang sudah berlangsung lama inilah yang memicu pada pengucilan Qatar di Timur Tengah. Padahal, kata Yon, sebenarnya Qatar merupakan satu-satunya negara yang berhasil melakukan reformasi politik dan demokratisasi.
Jadi, ujarnya, banyak kebijakan luar negeri Qatar yang dianggap berseberangan dengan konsensus negara-negara Teluk. Padahal mereka menginginkan sikap yang sama dalam merespons isu-isu regional. Saudi biasanya menjadi "God Father" negara-negara Arab Teluk.
"Bagi Indonesia, saya kira dapat melihat perkembangan ini secara objektif. Tidak ikut dalam dukung-mendukung salah satu kubu yang sedang bertikai. Indonesia memiliki hubungan penting, baik dengan Saudi maupun Qatar terutama dalam investasi. WNI Indonesia di Qatar jumlahnya sekitar 43.000 jiwa," katanya.
Pewarta: Arief Mujayatno
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017