Jakarta (ANTARA News) - Pengamat pasar uang mengatakan rupiah pada pekan depan masih berpeluang menguat lagi, karena investor asing tetap aktif bermain di pasar uang dan pasar saham Indonesia yang memberikan 'gain' lebih besar dibanding pasar lainnya. "Dengan aktifnya pelaku asing bermain di pasar domestik akan memicu rupiah terus menguat, meski sebelumnya sempat mengalami koreksi harga, karena khawatir isu pelarian modal asing," kata Direktur Currency Management Group, Farial Anwar, di Jakarta, akhir pekan ini. Menurut dia, rupiah pada pekan depan diperkirakan akan berada di level antara Rp8.700 sampai Rp8.900 per dolar AS, meski Bank Indonesia (BI) sekali-sekali melakukan intervensi pasar untuk menjaga kenaikannya tidak terlalu cepat. "Kami optimis rupiah akan kembali menguat hingga berada di posisi Rp8.700 per dolar AS, karena arus modal asing yang masuk semakin besar," katanya. Rupiah pada Jumat pukul 15.00 sore (17/5) berada di posisi antara Rp8.740/8.810 per dolar AS. Ia mengatakan rupiah sebelumnya sempat mengalami tekanan, karena adanya kekhawatiran akan terjadi krisis moneter kedua, apabila investor asing yang menempatkan dananya di pasar domestik mengalihkan dananya ke tempat lain. Namun kekhawatiran itu akhirnya hilang, setelah berbagai analis mengatakan, bahwa pemerintah sudah menyadari hal itu berdasarkan pengalaman pada tahun 1997 dengan mengantisipasi berbagai hal, katanya. Menurut dia, investor asing yang menempatkan dana di pasar uang, seperti Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat utang Pemerintah (SUN), pasar saham sampai saat ini masih besar dan sudah berlangsung enam bulan lalu. Investor asing masih tetap bermain di pasar domestik, mereka tidak terlihat untuk mengalihkan dananya ke pasar lain. Jadi isu pelarian modal asing kemungkinan masih jauh, karena potensi pasar Indonesia masih cukup besar, ucapnya. Hal ini, lanjut Farial, terlihat dengan indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang telah mencatat rekor baru mencapai 2.000 poin seiring dengan aktifnya pelaku asing menempatkan dananya di pasar saham. Karena itu, pejabat pemerintah dalam kondisi seperti ini jangan gampang mengeluarkan `statement` yang bisa merusak pasar dan menimbulkan gejolak negatif, katanya. Farial Anwar mengatakan, kenaikan rupiah yang terlalu cepat memang tidak baik bagi pertumbuhan ekonomi, karena akan menekan pendapatan eksportir dimana produk yang dijual di pasar ekspor kurang mampu bersaing. Sementara itu, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin), MS Hidayat di Jakarta mengatakan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS idealnya di posisi Rp9.000-Rp9.100 per dolar AS ketimbang saat ini yang mencapai Rp8.740/8.750 per dolar AS. Posisi rupiah saat ini kurang menguntungkan bagi dunia usaha, terutama eksportir, katanya. Ia mengatakan, kalau rupiah dibawal level yang ideal, maka eksportir akan dirugikan. Namun kalau memang ingin ada penguatan, sebaiknya secara gradual. Nilai tukar rupiah saat ini mengalami apresiasi, akibatnya masuknya aliran dana asing ke pasar, ucapnya. Ekonom Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan mengatakan, pasar saham maupun pasar uang Indonesia masih menarik investor asing yang menempatkan dananya cukup besar sehingga mendorong indeks saham maupun rupiah menguat tajam. Tingkat suku bunga Indonesia yang dinilai masih tinggi dibanding negara-negara lainnya di Asia merupakan salah satu faktor yang memicu investor asing aktif masuk ke Indonesia, katanya. "Investor asing mendapat pinjaman dolar AS dengan bunga pinjaman sebesar 5,5 persen. Mereka kemudian menukarnya dengan rupiah untuk membeli obligasi dengan memperoleh bunga sebesar 10 persen yang mendapat mendapat keuntungan dari selisih bunga sebesar 4,5 persen," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2007