Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah tengah menyusun perbaikan pola pencairan "cost recovery" atau biaya yang dikembalikan ke kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dalam kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas (migas), agar lebih memberikan manfaat bagi negara.
Direktur Pembinaan Hulu Ditjen Migas Departemen ESDM, R Priyono, di Jakarta, Minggu, mengatakan perbaikan itu merupakan upaya pemerintah menjawab sorotan banyak pihak dalam mekanisme "cost recovery" selama ini.
"Nantinya, penentuan item-item mana saja yang masuk ke dalam `cost recovery` akan lebih komprehensif yang artinya lebih menyinggung banyak kepentingan," katanya.
Dengan kata lain, lanjutnya, penentuan biaya yang masuk ke dalam "cost recovery" akan lebih tepat sasaran.
Menurut dia, perubahan pola tersebut akan langsung dimasukkan dalam kontrak kerja sama (KKS) dengan kontraktor migas.
"Saat ini, kami sedang susun 'term and condition-'nya," kata Priyono.
Selama ini, pembayaran "cost recovery" hanya bisa dilakukan apabila kontraktor menemukan dan memproduksi minyak atau gas.
Perhitungannya dilakukan sebelum hasil produksi dibagi antara pemerintah dan kontraktor, sehingga besaran "cost recovery" akan mempengaruhi bagian yang diterima pemerintah dan kontraktor.
Biaya yang dibebankan dalam "cost recovery" meliputi biaya non kapital tahun berjalan dari kegiatan eksplorasi, pengembangan, operasi produksi dan biaya administrasi atau umum, biaya depresiasi tahun berjalan, depresiasi tahun sebelumnya dan "unrecovered cost" (pengembalian biaya yang tertunda).
Ketentuan lainnya adalah pengembalian biaya dalam "cost recovery" hanya diperbolehkan dari wilayah kerja yang bersangkutan dan tidak diperkenankan melakukan konsolidasi biaya dan pajak antara satu wilayah kerja dengan lainnya.
Sementara itu, laporan kinerja Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) tahun 2006 menyebutkan sejak 1997 hingga 2006, angka "cost recovery" Indonesia mengalami kenaikan rata-rata enam persen per tahun.
Kenaikan tersebut antara lain disebabkan lapangan produksi adalah lapangan tua, sehingga membuat biaya produksi minyak semakin mahal.
Tingginya harga minyak juga membuat aktivitas migas meningkat dan mendorong kenaikan harga secara drastis.
Selama tiga tahun terakhir, biaya sewa alat pengeboran naik 300 persen dan harga besi baja naik sekitar 50 persen.
Selain itu, lapangan yang dikembangkan sebagian besar lapangan bercadangan kecil, sehingga biaya pengembangannya pun tinggi.
Realisasi 2006
Laporan BP Migas tersebut juga menyebutkan pada 2006, realisasi "cost recovery" mencapai 7,815 miliar dolar AS atau 82 persen dari perkiraan.
Sebanyak 1,89 miliar dolar AS di antaranya merupakan "cost recovery" PT Pertamina EP dan 5,92 miliar dolar AS dari KKKS lain.
BP Migas menyatakan masuknya Pertamina EP sebagai KKKS sejak 2005 telah menyebabkan kenaikan "cost recovery" sebesar 24 persen.
Sebab, biaya produksi minyak per barel yang dikeluarkan Pertamia EP jauh lebih besar dari rata-rata kontraktor lain.
Menanggapi hal itu, Direktur Hulu PT Pertamina (Persero) Sukusen Soemarinda mengakui tingginya tingkat "cost recovery" lapangan Pertamina.
"Tapi, harus dilihat apakah biaya itu benar-benar `cost recovery` atau bukan. Selain juga, lapangannya mesti dibandingkan `apple to apple`," katanya.
Menurut dia, tingginya "cost recovery" dikarenakan lapangan Pertamina tersebar dan sudah berusia tua. (*)
Copyright © ANTARA 2007