Oleh Arie NovarinaJakarta (ANTARA News) - Apa yang terjadi bila anak gaul khas Jakarta terdampar di Yogyakarta dan bergaul dengan pelacur dan pengamen jalanan? Sebuah benturan kebudayaan hasilnya. Ide dasar itulah yang mendasari penulis naskah Monty Tiwa menyusun cerita film "Mengejar Mas Mas" yang mulai beredar di bioskop pada 24 Mei 2007. Alkisah, seorang anak orang kaya di Jakarta, Shanaz (Poppy Sovia), tidak menyetujui ibunya menikah lagi, padahal ayahnya baru meninggal delapan bulan sebelumnya. Tapi, ketidaksetujuan Shanaz yang sangat frontal dan kurangajar menyebabkan pertengkaran antara dua generasi berbeda tersebut yang berpuncak dengan kaburnya Shanaz ke Yogyakarta menyusul pacarnya yang sedang mendaki gunung di "kota gudeg" tersebut. Tanpa bekal uang cukup dan pacarnya yang terlanjur naik gunung lebih cepat dari jadwal, Shanaz mendapati dirinya terlunta-lunta di Yogyakarta, hingga saat ia berkeliaran di daerah lokalisasi Pasar Kembang. Di situ Shanaz mendapat gangguan dari preman hingga ia diselamatkan seorang pelacur jalanan, Ningsih (Dinna Olivia), yang menyelamatkannya, dan bahkan bersedia menampungnya di kamar kosnya selama beberapa hari. Konflik muncul ketika sosok Mas Parno (Dwi Sasono) muncul di antara kedua perempuan berbeda budaya itu. Shanaz kemudian tertarik dengan Parno yang sebenarnya memendam cinta terhadap Ningsih. Perbedaan antara anak gaul Jakarta dengan seorang pelacur baik hati dari Yogyakarta itu, kemudian menjadi inti dari film tersebut. Shanaz yang kerap ceplas-ceplos beberapa kali menghina Ningsih cukup keras, baik disengaja atau tidak, sehingga cukup mengherankan ketika Ningsih tidak pernah terpikir untuk mengusir orang asing yang bahkan merebut Parno, "pacarnya" itu. Monty Tiwa mengakui bahwa menulis tentang benturan kebudayaan sangat menantang karena menyadari bahwa Indonesia masih terdiri atas ribuan pulau dan adat istiadat berbeda. "'Mengejar Mas Mas' adalah tentang anak Jakarta yang merasa sudah tahu semuanya dengan menonton MTV atau TV kabel. Padahal, kota sebelah yang cuma beda 10 kilometer saja tidak tahu," tutur Monty saat "press screening" film tersebut. Dan, untuk menampilkan benturan budaya tersebut, Monty kembali berduet dengan sutradara Rudy Soedjarwo, "partner"-nya dalam film "Mendadak Dangdut" yang mengisahkan tema yang sama dan menuai sukses besar. Untuk lebih menghadirkan kekontrasan antara kehidupan kota metropolitan Jakarta dan Yogyakarta, Rudy secara jeli memaparkan suasana akrab Ningsih bergosip dengan ibu-ibu tetangga, sementara si tamu dari Jakarta, Shanaz, tidak pernah mau berinteraksi dan sangat cuek dengan sekitar, termasuk berkeliaran dengan celana sangat pendek di lingkungan ibu-ibu berkerudung. Begitu pula dengan dialek Jawa yang digunakan Ningsih, yang disebut pemerannya Dinna Olivia sebagai satu hal terberat dari usahanya menyelami karakter sang pelacur. Meskipun masih terlihat kaku, usaha keras Dinna mempelajari logat "medok" lumayan dapat dinikmati, terutama bagi penonton yang tidak berasal dari Jawa. Tapi, unsur Jawa yang bertebaran di film perdana DePic Production itu juga dapat menjadi ibarat "bumerang tak sampai sasaran" bagi mereka yang tidak mengerti bahasa Jawa, karena sang sutradara tidak berbaik hati menyediakan teks dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, agar lebih akrab dengan penonton. Mungkin Rudy alpa bahwa yang akan menonton filmnya bukan hanya orang Jawa atau orang yang sangat mengerti bahasa Jawa. Seperti dalam "Mendadak Dangdut" yang membuat aktris Titi Kamal tiba-tiba menjadi seorang "diva" dangdut dengan hitsnya "Jablai", urusan musik juga mendapat porsi besar perhatian dalam film ini. Lagu-lagu "soundtrack" yang dibawakan, antara lain oleh Monty Tiwa sang penulis naskah dan Genk Kobra dari Yogyakarta, memang terdengar menjiwai adegan yang disajikan, misalnya lagu "Kosong", "Aku Mencintaimu" dan lagu yang menggunakan lirik bahasa Jawa, yakni "Ngajogjakarta" dan "Koyo Jambu". Sementara itu, satu hal yang cukup mengganggu dari menonton drama komedi ini adalah konsep "hand held" kamera yang digunakan Rudy di film-film terdahulunya dan kembali digunakannya kali ini dan sangat mungkin akan menjadi "trade mark" Rudy Soedjarwo. Meskipun cukup menarik, namun konsep "gambar bergoyang-goyang" itu dapat membuat pusing penonton dan mengurangi kenikmatan pengalaman dalam "Mengejar Mas Mas". (*)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007