Jakarta (ANTARA News) - Maraknya persekusi belakangan ini menunjukkan terjadinya ketimpangan keadilan di masyarakat sehingga memancing kelompok tertentu yang kurang puas dengan aparat penegak hukum melakukan tindakan tersebut.
Oleh karena itu, aparat hukum seperti Polisi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan dan Pengadilan seyogianya melaksanakan fungsinya secara profesional agar tidak ada kecurigaan dari masyarakat dalam menegakkan keadilan, kata Ketua Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) Dr. Laksanto Utomo, usai melakukan penandatangann Nota Kesepahaman (MoU) antara APPTHI dengan Purna Paskibraka Indonesia (PPI) di Jakarta, Senin malam.
Aparat hukum saat ini, khususnya Kepolisian RI, dihadapkan pada situasi yang sulit, yakni di satu sisi mereka harus menegakkan hukum tetapi di sisi lain masyarakat selalu mencurigai terhadap aksi pihak penegak hukum, katanya.
Laksanto yang juga Direktur Pasca Sarjana Universitas Krisna Dwipayana itu lebih jauh mengatakan, aparat kepolisian saat ini baru menindak para eksekuotor yang melakukan persekusi, belum menindak pelaku atau aktor yang membuat berita hoax atau berita yang memancing persekusi itu. Alhasil sebagian masyarakat sudah curiga seolah aparat hukum hanya menangani pelaku persekusi, sehingga dinilai tidak adil atau hanya memihak kepada kelompok tertentu.
Padahal, kata Laksanto, aparat polisi menangani terlebih dahulu kelompok yang membahayakan, yakni para eksekutor persekusi itu. Dengan begitu, Polisi bertindak mengunakan skala prioritas. "Itu sebabnya, APPTHI akan terus mendoronng aparat penegak hukum khuusnya Kepolisian RI lebih peka dalam menangkap isu di masyarakat," katanya seraya menambahkan, dua-duanya, baik para persekusi maupun yang membuat "pelatuk" agar ditindak sehingga tidak terjadi persepsi seolah-olah para provokator justru dilindungi penegak hukum.
Pernyataan itu disampaikan dalam acara penandatanganan nota kesepahaman antara APPTHI dan PPI yang dilaksanakan di Universitas Pancasila, dihadiri oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi dan Ketua yayasan Universitas Pancasila, serta para alumni paskibraka.
Sementara itu Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Prof. Dr. Ade Saprtomo menambahkan, pengertian persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga, lalu disakiti. Pada kasus yang tengah hangat saat ini, persekusi berawal dari media sosial yang menjadi alat bagi sekelompok orang untuk memobilisasi massa dalam upaya mengintimidasi pihak tertentu yang dianggap menyinggung kelompok atau tokoh tertentu.
Menanggapi hal itu, kata Prof. Ade Saptomo, ada dua hal yang perlu mendapatkan perhatian serius dari para pimpinan penyelenggara negara. Dua hal itu pertama, adanya budaya hukum bangsa Indonsia yang masih rendah. "Jika ada informasi dari sosial media (sosmed) masyarakat tidak terbiasa melakukan nalar analsis atau pengecekan apakah informasi itu bersifat hoax atau fakta".
Mereka tidak terbiasa mencernanya dnegan kepala "dingin" tetapi lansung bereaksi. Inilah yang saya sebut budaya hukum masih rendah. Karena budaya hukum rendah, maka akan melahirkan tahap kedua, yakni lemahnya aparat hukum. Aparat hukum rendah menimbulkan berbagai macam persoalan dari ketimpangan ketidak adilan hingga terjadinya ketidak percayaan dalam pelaksanaan hukum, tambahnya.
Oleh karenanya, ia menyarankan agar para penegak hukum tidak sungkan-sungkan melakukan kerjasama dan diskusi dengan perguruan tinggi guna meningkatkan kapasitas para penegak hukum agar lebih profesional dalam menjalankan tugasnya, sehingga lahir kepercayaan kepada hukum.
Menjawab pertanyaan, Ade Saptomo mengatakan, Univeritas pancasila siap menampung para alumi Paskibraka untuk ikut bergabung di kampusnya.
"Silahkan memilih fakultas sesuai dengan minatnya, yang pasti rata-rata fakultas di Universitas pancasila terakreditasi A, dan pihak yayasan sudah setuju untuk memberikan fasiltas dan bantuan beasiswa," kata Ade.
(T.Y005/R021)
Pewarta: Theo Yusuf Ms
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017