Kuala Lumpur (ANTARA News) - Kedutaan besar RI untuk Malaysia saat ini masih terus mendata jumlah WNI yang terancam dan yang sudah divonis hukuman mati di pengadilan Malaysia, oleh karena itu angkanya masih belum dikatakan sudah final. "Jika ada berita 109 WNI asal Aceh sedang menghadapi pengadilan di Malaysia dengan ancaman hukumman mati, dan tujuh di antaranya telah divonis hukuman gantung di tingkat Mahkamah Tinggi di Malaysia itu belumlah final. KBRI masih terus mendata dari seluruh penjara Malaysia," kata juru bicara KBRI, Eka A Soeripto, Sabtu, di Kuala Lumpur. Eka menambahkan KBRI juga sedang mendata seluruh WNI yang terancam hukuman mati. "Ada WNI asal Madura dan lainnya yang terancam hukuman mati karena membunuh bukan karena mengedarkan ganja. Ada juga yang terancam hukuman mati karena mengedarkan narkoba tapi bukan asal Aceh," tambah dia. Apabila KBRI sudah mengumpulkan semua datanya dan sudah dinyatakan final maka akan diserahkan terlebih dahulu ke Departemen Luar Negeri di Jakarta. "Biar Jakarta yang memberikan informasi kepada masyarakat," katanya. Ia mengemukakan hal itu karena sebelumnya, ANTARA News memberitakan sebanyak 109 Warga Negara Indonesia (WNI) asal Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), menghadapi kasus pidana berat dengan ancaman hukuman mati dan kini mereka ditahan di sejumlah penjara di Malaysia. Data yang diperoleh dari Kedutaan Besar (Kedubes) RI untuk Malaysia di Kuala Lumpur, Rabu, menyebutkan tujuh dari 109 orang WNI asal Aceh telah dijatuhi (divonis) hukuman gantung di tingkat Mahkamah Tinggi di Malaysia. Ke-109 WNI asal Aceh yang menghadapi kasus berat itu didakwa terlibat memiliki narkotika jenis ganja (dadah) dan melanggar pasal (seksyen) 39B Akta Dadah Berbahaya (ADB), mereka diadili di Mahkamah Tinggi di sejumlah negara bahagian Malaysia. Data sementara yang dikeluarkan pihak Kedubes RI Kuala Lumpur, menyebutkan tujuh dari 109 WNI asal Aceh yang telah dijatuhi hukuman mati (gantung) itu yakni Mardani bin Dadeh, penduduk Kabupaten Bireuen. Mardani dijatuhi hukuman gantung tahun 2002 oleh Mahkamah Tinggi Kuala Lumpur, sementara banding (rayuan) yang diajukan terpidana di tolak Mahkamah Rayuan pada tahun 2005. Kemudian, Tarmizi Yakob, Desa Ceurucok, Kecamatan Samalanga, Bireuen, terpidana mati pada 1997 oleh Mahkamah Tinggi Kuala Lumpur, rayuannya juga ditolak mahkamah setempat pada 2004. Selanjutnya, data KBRI juga menyebutkan terpidana Bustamam bin Bukhari asal Bireuen (Aceh) juga dijatuhi hukuman gantung Mahkamah Tinggi Kuala Lumpur pada tahu 1997 dan rayuannya ditolak 2004. Kemudian Nasruddin bin Daud, asal Desa Kumbang, Kecamatan Bandar Dua, Kabupaten Pidie, dijatuhi hukuman gantung karena membawa dua kilogram ganja. Terpidana divonis mati Mahkamah Tinggi Kuala Lumpur pada 2004, namun kasusnya sedang menunggu di sidang Mahkamah Rayuan. Parlan bin Dadeh, asal Meunasah Tupok Baro, Bireuen, tertuduh membawa ganja sebanyak 430 gram itu dijatuhi hukuman gantung Mahkamah Tinggi Pulau Penang tahun 2003, sementara rayuannya ditolak pada tahun 2006. Selanjutnya Azhar bin Nurdin, asal Desa Teupin Reudep, Kecamatan Peusangan, Bireuen, dijatuhi hukuman gantung tahun 2004 Mahkamah Tinggi Kuala Lumpur. Kasusnya kini sedang menunggu disidangkan di Mahkamah Rayuan setempat. Kemudian, Mustaqim bin Hanafi, asal Desa Lhok Rambideuen, Kecamatan Seuneudon, Aceh Utara dengan tuduhan membawa 440 gram ganja dijatuhi hukuman gantung Mahkamah Tinggi 6 Syah Alam tahun 2006, kasus lanjutannya sedang menunggu disidangkan di Mahkamah Rayuan setempat. Data sementara KBRI juga menyebutkan terdakwa dengan ancaman hukuman mati terhadap sebanyak 102 warga asal Aceh lainnya kini sedang dalam proses persidangan di Mahkamah Tinggi di sejumlah negara bahagian di negeri semenanjung tersebut.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007