Jakarta (ANTARA News) - Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) MPR hingga kini belum ada yang memberi dukungan terhadap usul amendemen kelima terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang diajukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), bahkan sejak awal usul itu digagas DPD, anggota PDIP cenderung menolaknya. "Tentang dukungan amendemen terhadap konstitusi yang diajukan DPD, seolah-olah ada angota Fraksi PDIP, kami tegaskan tidak satu pun anggota Fraksi PDIP MPR yang memberi dukungan," kata Ketua Fraksi PDIP MPR, Soerwarno, di Press Room Gedung DPR/MPR di Jakarta, Jumat. Namun, dia mengakui ada anggota Partai Damai Sejahtera (PDS) yang bergabung dalam Fraksi PDIP MPR yang telah memberi dukungan. PDS bergabung dalam Fraksi PDIP MPR, tetapi sikap politiknya berbeda. Sehubungan dengan amendemen konstitusi PDS tidak terkait dengan institusi Fraksi PDIP."Kami menegaskan sikap politik PDIP supaya tidak timbul salah paham," katanya. Soewarno menegaskan, usul amendemen kelima terhadap konstitusi ditolak PDIP, karena tidak hanya akan menyangkut Pasal 22D UUD 1945 tentang DPD, tetapi juga bisa melebar ke pasal-pasal lain. Amendemen terhadap Pasal 22D UUD 1945 saja sudah pasti terkait dengan Pasal 20 UUD 1945 yang mengatur mengenai pembahasan RUU. Usul amendemen yang diajukan DPD bisa melebar ke pasal-pasal lain, dan tidak sekadar terkait penguatan tugas dan kewenangan DPD dalam bidang legislasi. Oleh karena itu, usul amendemen konstitusi dipastikan akan menyangkut sejumlah pasal lain karena pasal-pasal dalam konstitusi memiliki keterkaitan dengan pasal lain. Atas dasar itu pula, PDIP menganggap amendemen bisa melebar ke pasal lain, dan hal ini bisa menimbulkan ketegangan. PDIP tidak ingin konstitusi terlalu sering dibongkar. Sebaiknya konstitusi yang ada dan merupakan hasil amendemen keempat kalinya diberlakukan terlebih dahulu sambil dinilai kelebihan dan kelemahannya."Kalau dibongkar-bongkar terus, nanti akan timbul persoalan baru. Laksanakan dulu yang ada secara optimal," katanya. Fraksi PDIP MPR menilai peran optimal belum ditunjukkan anggota DPD, terutama terkait mewujudkan kepentingan daerah. Anggota DPD semestinya lebih banyak bekerja di daerah, bukan di Jakarta, seperti selama ini. Keberadaan anggota DPD yang lebih banyak di Jakarta justru tidak optimal menjalankan tugas bagi kepentingan daerahnya. (*)

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007