Jakarta (ANTARA News) - Kasus dugaan korupsi yang melibatkan Presiden RI periode 1966-1998, HM Soeharto, tidak hanya dapat diselesaikan melalui jalur hukum, tetapi juga dapat diselesaikan lewat jalur politik, demikian pendapat pengamat politik dari Universitas Paramadina di Jakarta, DR Yudi Latief. "Itu soal `political will`, apakah dalam hal ini presiden memiliki kemauan serius untuk menyelesaikan kasus Soeharto," katanya di Jakarta, Jumat. Yudi Latif mengatakan, untuk menyelesaikan kasus Soeharto dapat saja melalui jalur hukum, namun memerlukan waktu yang lama. Oleh karena itu, pemerintah harus menyelesaikannya melalui jalur non-hukum. "Jika pemerintah tidak berani membawa Soeharto pada proses hukum karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, mestinya ada langkah politik," ujarnya. Ia mencontohkan, misalnya Soeharto diajak untuk mencapai satu `deal` atau negoisasi, di mana Soeharto bisa saja bebas dari proses hukum, namun dengan syarat sejumlah kekayaannya dikembalikan kepada negara. "Jadi, ada `win-win solution`, Soeharto mendapatkan amnesti dari Presiden tanpa menjalani proses hukum. Itu, menyelesaikan masalah sekali untuk selamanya," katanya. Yudi menjelaskan, langkah penyelesaian melalui jalur hukum atau non hukum harus dilakukan terhadap kasus Soeharto, tidak seperti sekarang ini seolah tidak ada tindakan apa pun. "Kasus Soeharto tidak boleh tidak, harus ada penyelesaiannya," tegasnya. Yudi menambahkan, mestinya dalam kurun waktu 2,5 tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat menyelesaikan kasus Soeharto sebagai batas dasar antara Ode Baru dan reformasi. "Menyelesaikan warisan masa lalu dan memulai kehidupan negara dengan lebih baru lagi. Kejahatan-kejahatan masa lalu, bukan hanya kasus Soeharto tapi kasus-kasus pelanggaran HAM juga harus diselesaikan secara hukum dan politik," katanya. Yudi menambahkan, sembilan tahun reformasi seolah tidak membawa perubahan kepada rakyat, bahkan kepercayaan kepada reformasi telah mencapai titik terendah. "Orang yang dulunya mengibarkan panji-panji reformasi, justru mulai mencoret kalimat reformasi," katanya. Yudi mengatakan, kepercayaan masyarakat yang sebelumnya mengharapkan perubahan seperti perbaikan kualitas hidup sebagai tujuan reformasi, seolah telah menghilang. "Kalau ada capaian dari reformasi, itu hanya capaian prosedural dan lebih menguntungkan elit politik," katanya. Padahal, menurut dia, reformasi yang diharapkan adalah membawa perubahan yang menyentuh hajat hidup orang banyak bukan hanya perubahan pergantian elit politik. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007