Jakarta (ANTARA News) - Para duta besar dari Aljazair, Mesir, Ethiopia, Libya, Maroko, Mozambik, Nigeria, Sudan, Afrika Selatan, Tunisia dan Zimbabwe, yang bertugas di Indonesia baru-baru ini menyelenggarakan Hari Afrika.
Pertemuan para duta besar itu dilakukan untuk merayakan hari ulang tahun Uni Afrika (AU) ke-54 di Jakarta. Tampak beberapa diplomat senior yang baru menempati pos mereka di Indonesia seperti Duta Besar Mesir Ahmed Amr Ahmed Moawad dan Duta Besar Maroko Ouadia Benabdellah, serta beberapa dubes lagi akan kembali ke negara mereka masing-masing tahun ini.
Para dubes dan pengamat mengakui realitas bahwa benua Afrika mengalami evolusi yang dinamis dan kini Afrika lebih bersatu padu dengan satu suara daripada waktu-waktu sebelumnya. Tak bisa dipungkiri benua itu merupakan kekuatan global dan telah menunjukkan tanda-tanda kebangkitan di abad ke-21.
Indikator-indikator di bidang pembangunan sosial dan kesehatan di Afrika mengalami kemajuan. Tingkat buta huruf misalnya telah berkurang dan level pendaftaran untuk mengenyam pendidikan di berbagai jenjang mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi meningkat.
Data ekonomi menunjukkan pertumbuhan ekonomi Afrika yang dinamis menyumbang bagi peningkatan PDB benua dan PDB per kapita dari sebagian besar negara anggota Uni Afrika. Evolusi yang dinamis telah memungkinkan benua itu lebih terintegrasi dengan ekonomi yang mengglobal.
Perkembangan-perkembangan lainnya dapat dilihat sejak awal tahun 2017 manakala Amerika Serikat mencabut seluruh sanksi ekonomi dan perdagangan yang telah diberlakukan selama 20 tahun atas Sudan.
Konferensi Tingkat Tinggi Uni Afrika yang diselenggarakan di Addis Ababa, Etiopia, pada 22-31 Januari 2017, menghasilkan beberapa keputusan mengejutkan. Salah satu di antaranya adalah kembali bergabungnya Maroko ke dalam organisasi yang kini menaungi 55 negara di kawasan Afrika tersebut.
Pada 1984, Maroko memutuskan keluar dari Organisation of African Unity yang merupakan organisasi pemersatu negara di kawasan Afrika sebelum peran tersebut digantikan oleh Uni Afrika pada tahun 2001.
Di antara perkembangan-perkembangan tersebut, masyarakat internasional menyaksikan hubungan Afrika dan Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC). Mahkamah itu mendapat gertakan dari beberapa negara Afrika karena dirasa gagal menjalankan mandat dengan objektif dan dianggap sering bias dalam melaksanakan tugasnya, terutama kasus yang berkaitan dengan negara Afrika.
Selama 15 tahun berdiri, ICC dianggap hanya mampu menghukum negara dari Afrika, termasuk Kenya dan Sudan, meskipun proses penyelidikan juga dilakukan terhadap kejahatan di Eropa Timur, Timur Tengah, dan Amerika Selatan. Sementara itu, ICC masih gagal untuk menunjukkan tajinya ketika dihadapkan dengan konflik-konflik besar seperti Perang Suriah.
Tuntutan reformasi terhadap ICC adalah dijalankannya pengadilan internasional yang adil dan transparan yang terbebas dari standar ganda, dan mendorong semangat penghormatan terhadap latar belakang kawasan dalam hukum internasional.
Seperti di Afrika Selatan pada awal 1990-an, kekerasan yang terjadi di Kenya, Kongo, Sudan dan Sudan Selatan saat ini merupakan gejala dari perpecahan yang dalam. Peradilan-peradilan ala Nuremberg tak dapat mengobati perpecahan-perpecahan ini.
"Apa yang kami perlukan ialah sebuah proses politik yang didorong dengan keteguhan hati bahwa tak ada pemenang dan tak ada pecundang. Yang ada hanyalah penyintas (survivors)," kata Duta Besar Sudan untuk Indonesia Abd Alrahim Alsiddig Mohamed Omer dalam sebuah artikelnya berjudul "Why Do African Countries Are Leaving International Criminal Court (ICC)?"
ICC dibangun atas model Nuremberg. Tetapi kekerasan massal lebih bersifat masalah politik daripada kriminal. Menurut Abd Alrahim, tidak seperti kekerasan kriminal, kekerasan politik memiliki konstituensi dan didorong oleh berbagai isu, tidak hanya para pelakunya.
Lebih jauh Abd Alrahim menyebutkan salah satu alasan mengapa Afrika meninggalkan ICC adalah korupsi para pemimpin mahkamah itu.
Miliki andil
ndonesia yang sejak 1955 memiliki andil dalam sejarah melawan kolonialisme dan telah memberikan dorongan bagi kemerdekaan negara-negara Afrika, dan bahkan beberapa kali Jakarta menyelenggarakan peringatan Konferensi Asia Afrika dan tentunya menelan anggaran yang sangat mahal.
"Kenyataannya Jakarta belum mampu memanfaatkan potensi ekonomi yang dimiliki Afrika dalam bentuk kerja sama ekonomi yang menjanjikan itu," kata mantan Dubes RI untuk Sudan J. Sujatmiko kepada Antara baru-baru ini.
Fakta ini menunjukkan bahwa Inddoensia jauh ditinggalkan oleh negara lain seperti India, China, Turki, dan negara-negara Timur Tengah yang ternyata telah memiliki angka perdagangan yang jauh lebih tinggi dibanding perdagangannya dengan Indonesia, padahal variasi produk unggulannya ke Afrika sangat besar dan dari segi kualitas dan harganya bisa bersaing.
Batu sandungan terbesar bagi kemitraan yang lebih erat antara Indonesia dan Afrika adalah masih kuatnya stereotip mengenai Afrika di tengah masyarakat Tanah Air.
Indonesia diproyeksikan akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-4 di dunia pada tahun 2040, PDB Afrika pun diprediksi akan melampaui 2,5 triliun dolar AS pada tahun 2020. Di samping itu terdapat modalitas yang signifikan bagi hubungan kedua pihak, antara lain kedekatan sosial-budaya, solidaritas anti-kolonialisme, dan adanya tantangan bersama bagi Indonesia dan Afrika.
Meskipun begitu, terdapat jurang antara potensi dan realisasi hubungan antara Indonesia dan Afrika. Sebagai contoh Indonesia hanya menempati peringkat ke-10 negara eksportir Asia ke Afrika. Hal ini melahirkan anggapan bahwa hubungan kedua pihak masih "driven by myths" sebagaimana yang diutarakan Kepala Pusat P2K2 Aspasaf, Kementerian Luar Negeri, Mohamad Hery Saripudin. Saat ini Hery menjadi konsul jenderal RI di Jeddah.
Untuk merobohkan tembok stigma tersebut, berbagai diskusi pada seminar berhasil merumuskan beberapa rekomendasi. Usulan tersebut mencakup pertemuan rutin antara pejabat tinggi serta komunitas bisnis dari Indonesia dan Afrika, streamlining pengaturan visa untuk mempermudah people-to-people contact antara kedua pihak, engagement terhadap media seperti dengan menampilkan program mengenai Afrika di media Indonesia, pembentukan friends of Africa dan friends of Indonesia, serta pelaksanaan Indonesia-Africa Dialogue Series.
Langkah konkrit yag dilakukan Pemerintah Presiden Jokowi dengan kunjungan awal Menlu Retno Marsudi ke tiga negara Afrika (Afrika Selatan, Mozambik dan Mesir) pada 7-8 Februari lalu merupakan upaya konkrit yag perlu diapresiasi.
"Sudah lama saya berpandangan bahwa hubungan baik RI dengan negara-negara Afrika dan faktor sejarah yang dimiliknya, semestinya menjadi modal dasar dan diikuti dengan peningkatan hubungan ekonomi lebih nyata," kata Sujatmiko.
Telah terbukti bahwa pada saat krisis ekonomi melanda dunia sejak beberapa tahun lalu, yang ditandai dengan berkurangnya permintaan atas barang produksi Indonesia, lemahnya nilai komoditas primer ekspor RI dan lemahnya daya beli negara-negara pengimpor produk RI, serta ekspor RI ke negara tujuan ekspor tradisional menurun, ternyata ekspor RI ke negara-negara Afrika malah menunjukkan angka kenaikan.
Untuk itu, kata dia, yang diperlukan adalah dukungan awal Pemerintah kepada sektor swasta dalam bentuk pemberian fasilitasi perdagangan dan investasi, misalnya pemberian fasilitas kredit bagi eksportir yang masih dalam kategori UKMK, kemudahan trasportasi, keringanan pajak dan bantuan promosi produk mereka.
Fasilitasi ini penting karena keinginan para pengusaha Indonesia untuk menembus pasar non tradisional seperti ini masih rendah. Mereka cenderung untuk berdagang dengan negara yang jelas terjamin aman, jelas keuntungannya dan tanpa harus keluar keringat untuk mengurus semua proses ekspor yang masih berbelit.
Fakta lain yang harus dicermati adalah bahwa ekspor RI ke negara-negara Afrika sebagian besar melalui pihak ketiga, misalnya via Dubai dengan memanfaatkan kawasana free zone dan kelengkapan fasilitas modern yang dimiliki negara itu.
Menurut Sujatmiko, dengan fakta itu maka nilai ekspor RI biasanya tidak dihitung sebagai dari Indonesia, padahal Uni Emirat Arab hanya me-re ekspor saja. Artinya jika nilai total ekspor RI dihitung, maka sudah dipastikan bahwa nilai ekspor RI ke Afrika akan lebih tinggi.
Atas dasar itulah maka Pemerintah diharapkan dapat memberikan fasilitasi berupa kemudahan agar mereka dapat melakukan ekspor secara langsung ke negara tujuan, atau setidaknya menggunakan negara Afrika sebagai pintu masuk ke negara Afrika lainnya.
Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017