Jakarta (ANTARA News) - Anggota Polda Metro Jaya Bripda Pandu Dwi Laksono tak menunjukkan perubahan raut muka saat rombongan Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla membesuknya di kamar perawatan Rumah Sakit Polri Sukanto pada Kamis (25/5) malam.
Mengenakan baju rumah sakit warna merah muda, tubuh Pandu yang Anggota Unit 1 Peleton 4 Disabhara Polda Metro Jaya itu, tampak kaku di atas tempat tidur RS. Ia ditemani seorang saudara laki-lakinya.
Iriana Joko Widodo dan Mufidah Jusuf Kalla ikut menyertai Jokowi dan Jusuf Kalla saat membesuk dia malam itu.
"Bagaimana kondisi pendengaran?" tanya Presiden kepada dokter rumah sakit yang mendampingi.
Sambil mendengarkan penjelasan dokter, Presiden pun membuka sedikit selimut yang membalut tubuh Pandu dan menemukan perban menutup tubuh bagian kirinya serta di bagian kaki. Pandu tidak berkata apapun.
Pandu adalah korban pertama yang dibesuk Presiden sesaat setelah tiba di Jakarta setelah melakukan kunjungan kerja ke Malang dan Solo pada 24-25 Mei 2017. Presiden mempersingkat kunjungannya ke Solo setelah mengetahui adanya serangan bom di Terminal Kampung Melayu pada Rabu (25/5) malam.
Saat ledakan itu terjadi, Pandu bersama rekan-rekannya sedang mengawal pawai obor menyambut bulan suci Ramadhan di kawasan Kampung Melayu.
Di kamar kedua, Presiden Jokowi menemui Bripda M. Al Agung Pangestu.
"Umur berapa?" tanya Mufidah.
"21 tahun," jawab sang ayah.
"Masih muda-muda," komentar Presiden.
Seperti Pandu, Agung pun tak berkomentar mengenai kejadian itu. Apalagi kulit di atas bibir Agung menghitam akibat terkena ledakan. Kepalanya pun diperban.
Sementara di kamar ketiga, ada Jihan, seorang mahasiswi yang kebetulan sedang berada di Terminal Kampung Melayu. Jihan awalnya berupaya untuk bangun dan mencoba menyodorkan salam ke Presiden Jokowi, tapi Presiden menunjukkan telapak tangan ke depan tanda mencegah Jihan bangun.
"Semoga bisa keluar (rumah sakit, red.) secepatnya ya. Mahasiswa mana?" tanya Jokowi ke Jihan.
"Azzahra Pak, di Kampung Melayu," kata Jihan pelan.
Selanjutnya, Presiden dan rombongan ke kamar keempat menemui Nugroho Agung Laksono, seorang sopir Kopaja yang malam itu ditemani adik perempuannya dan sang ibu.
"Dia mau menolong korban ledakan pertama, tapi malah terkena ledakan kedua," kata sang ibu.
"Iya, dipikir sudah selesai tapi malah kena," kata Presiden.
Kaki kanan Agung memang tampak dibalut perban.
Di kamar kelima, Bripda Ferry Nurcahyo mendapatkan perawatan.
"Saya lagi stand by di bawah, menunggu pawai obor," kata Ferry kepada Mufidah.
"Pawai apa?" tanya Mufidah.
"Pawai menjelang Ramadhan," jawab Ferry.
Ferry yang juga tampak ingin menyambut Presiden pun sulit bangun dari tempat tidurnya. Presiden pun menggerakkan telapak tangannya ke depan untuk menandakan agar Ferry tidak perlu bangun dari tempat tidur.
Sementara Bripda Zulqron yang berada di kamar keenam berhasil mencium tangan Presiden meski ia mengalami luka di sekitar hidung dan mulut, serta tangan kirinya dibalut.
Dokter mengatakan kupingnya terkena dampak ledakan.
"Robek begitu?" tanya Presiden meminta penjelasan lebih lanjut.
Terakhir di kamar ketujuh, ada Bripda Pandu Dwi Laksono yang juga hanya bisa berbaring di tempat tidur. Ia hanya menunjuk telinga sebelah kanannya saat ditanya Presiden bagaimana dampak ledakan.
Pandu tidak meringis untuk menunjukkan rasa sakit yang ia derita, mungkin karena saat itu juga sudah malam sekitar pukul 21.15 WIB, atau sudah genap 24 jam setelah ia terkena serangan bom.
Ia mungkin juga belum tahu ada tiga rekannya sesama polisi yang gugur, yaitu Bripda Taufan Tsunami, Bripda Ridho Setiawan, dan Bripda Imam Gilang Adinata yang diberikan kenaikan pangkat luar biasa, anumerta.
"Tadi kita sudah membesuk dan melihat langsung korban ledakan bom di Kampung Melayu dan betul-betul kita sangat menyesalkan ini. Karena kalau kita lihat tadi korbannya ada mahasiswi, ada sopir Kopaja, ada kemudian juga anggota Polri juga ada, kemudian pegawai juga ada," kata Presiden di hadapan wartawan yang berkumpul di RS Polri.
Ia pun meminta agar seluruh masyarakat di Indonesia tetap tenang sekaligus menjaga kewaspadaan.
"Saya sampaikan kepada seluruh masyarakat, seluruh rakyat di seluruh pelosok Tanah Air agar semuanya tetap tenang dan menjaga persatuan. Tetapi kita juga tetap semuanya harus waspada dan kita semua harus bersatu melawan terorisme ini. Dan saya tegaskan sekali lagi bahwa tidak ada tempat di negara kita di Tanah Air kita ini bagi terorisme!" tegas Presiden.
Revisi UU
Setelah membesuk para korban, Presiden dan rombongan meluncur ke lokasi ledakan, yaitu Terminal Kampung Melayu. Di sana sudah ada Kepala Badan Intelijen Budi Gunawan, Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Syafruddin, Panglima Kodam Jaya Mayjen Jaswandi, dan Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki.
Presiden bersama Wapres tampak menghabiskan sekitar 15 menit berbicara intens dengan Budi Gunawan dan Syafruddin di lokasi kejadian. Masih tampak sejumlah mikrolet Nomor 01 jurusan Kampung Melayu-Senen yang diparkir di tempat kejadian.
Pembicaraan serius itu tidak dapat didengar wartawan yang berjarak sekitar 10 meter dari mereka. Tapi pembicaraan di TKP pengeboman tentu bukanlah membicarakan hal yang main-main.
Dalam pernyataan persnya, Presiden pun menyampaikan bahwa sudah saatnya mempercepat revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme agar mempermudah aparat dalam bertindak.
"Kita ingin pemerintah dan DPR segera menyelesaikan (revisi, red.) Undang-Undang Anti Terorisme sehingga akan memudahkan aparat penegak hukum agar memiliki sebuah landasan yang kuat," kata Presiden.
Revisi UU tersebut diharapkan Presiden dapat memudahkan aparat untuk melakukan pencegahan terhadap tindakan terorisme.
"Terorisme sudah menjadi masalah semua negara sudah menjadi masalah dunia dan kalau kita lihat negara yang lain ini memiliki undang-undang, memiliki regulasi yang memudahkan aparat untuk menyerukan sebelumnya artinya pencegahan," tambah Presiden.
Ia pun memerintahkan Menko Polhukam Wiranto untuk segera menyelesaikan revisi undang-undang tersebut agar aparat hukum mempunyai landasan yang kuat untuk bertindak, utamanya dalam mencegah.
Salah satu isi revisi UU Pemberantasan Terorisme adalah memberikan kewenangan bagi badan intelijen untuk melakukan tindakan "preemtive" sehingga dibolehkan untuk melakukan interogasi terhadap orang atau suatu pertemuan yang diduga terkait dengan terorisme.
Revisi UU itu sudah dikerjakan sejak beberapa tahun lalu namun belum selesai hingga saat ini.
Syafruddin pada Jumat (26/5) menyatakan bahwa dugaan sementara pelaku serangan bom bunuh diri merupakan anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
JAD merupakan kelompok yang telah muncul sejak 2015 dan selama ini dikenal mendukung aksi teror yang dilakukan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
"Secara hirarkis JAD juga ada hubungannya dengan ISIS," ungkapnya.
Syafruddin mengaku bahwa anggota kepolisian kerap menjadi salah satu target aksi radikal JAD. JAD juga disebut sebagai organisasi payung yang terdiri atas ratusan simpatisan ISIS, yang berada di seluruh penjuru Indonesia.
Memang saatnya untuk melakukan perlawanan nyata terhadap teror dalam berbagai bentuk. UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi salah satu payung hukum.
Akan tetapi, bersikap waspada terhadap sekitar dan tidak memaklumi aksi teror sebagai ekspresi agama menjadi sikap yang harus mulai dilakukan. Jadi jangan hanya meringis melihat aksi teroris.
Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017