Jakarta (ANTARA News) - Sherpa berevolusi menjadi manusia super pendaki gunung dengan efisiensi produksi energi sangat tinggi guna menenagai tubuh mereka bahkan ketika oksigen minim menurut hasil penelitian yang dipublikasikan Selasa (23/5) di Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS).

Ketika oksigen langka, tubuh dipaksa bekerja lebih keras untuk memastikan otak dan otot menerima nutrisi esensial ini dalam jumlah cukup. Salah satu cara paling umum yang dilakukan tubuh untuk mengompensasi kekurangan oksigen adalah memroduksi lebih banyak sel darah merah, yang bertanggung jawab membawa darah ke organ-organ tubuh. Ini membuat darah mengental, sehingga mengalir lebih lambat, dan bisa menyumbat pembuluh darah.

Para pendaki gunung sering menghadapi level oksigen rendah, khususnya di ketinggian, dan itu membuat mereka meluangkan waktu untuk melakukan aklimatisasi selama pendakian agar tubuh punya cukup waktu beradaptasi dan mencegah penyakit ketinggian. Selain itu, mereka juga mungkin harus membawa pasokan oksigen tambahan.

Ilmuwan sudah mengetahui setiap orang memiliki respons berbeda terhadap ketinggian. Kebanyakan pendaki membutuhkan pasokan oksigen tambahan saat mendaki Gunung Everest yang tingginya 8.848 meter di atas permukaan laut, dan hanya sedikit yang tidak membutuhkannya, sebagian besar Sherpa, kelompok etnis dari kawasan pegunungan Nepal.

Sherpa bisa bertahan di ketinggian tanpa konsekuensi nyata terhadap kesehatan mereka, akibatnya banyak di antara mereka yang menjadi pemandu ekspedisi di Himalaya. Dua Sherpa bahkan dikenal telah 21 kali mendaki puncak Everest.

Studi-studi sebelumnya telah menunjukkan perbedaan antara Sherpa dengan orang yang hidup di dataran rendah, termasuk sel darah merah Sherpa yang lebih sedikit saat di ketinggian tapi punya kandungan tinggi oksida nitrat, bahan kimia yang membuka pembuluh darah dan membuat darah tetap mengalir.

Bukti-bukti menunjukkan manusia pertama ada di dataran tinggi Tibet sekitar 30 ribu tahun lalu, dan permukiman permanen pertama muncul sekitar 6.000 sampai 9.000 tahun lalu. Ini memunculkan kemungkinan bahwa mereka sudah ebradaptasi dengan lingkungan ekstrem.

Ini didukung studi DNA terbaru yang menunjukkan perbedaan genetik antara Sherpa dengan populasi Tibet serta penduduk dataran rendah.

Perbedaannya antara lain pada DNA mitokondria, kode genetik yang membuat memrogram mitokondria, "baterai" yang membangkitkan energi untuk tubuh.

Tim peneliti yang dipimpin oleh periset dari Universitas Cambridge mengikuti dua kelompok yang secara bertahap naik ke basis perkemahan Everest di ketinggian 5.300 meter dalam studi Xtreme Everest yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi orang yang sakit kritis dengan memahami bagaimana tubuh merespons ketinggian ekstrem di puncak tertinggi.

Studi ini merupakan bagian dari Xtreme Everest, proyek memperbaiki hasil orang-orang yang sakit parah dengan mempelajari bagaimana tubuh merespons ketinggian ekstrim, juga untuk menandai 10 tahun ekspedisi grup ini ke Everest.

Kelompok penduduk dataran rendah meliputi 10 orang peneliti terpilih yang mengoperasikan laboratorium Everest Base Camp, tempat studi mitokondria dilaksanakan di bawah pimpinan James Horscroft dan Aleks Kotwica, dua kandidat PhD di Universitas Cambridge.

Mereka mengambil sampel, termasuk darah dan biopsi otot, di London sebagai ukuran paduk, lalu ketika mereka pertama kali tiba di Base Camp dan yang ketiga setelah dua bulan berada di sana.

Sampel-sampel ini dibandingkan dengan sampel yang diambil dari 15 Sherpa, semuanya tinggal di daerah yang relatif rendah, bukan pendaki ketinggian elite. Ukuran paduk Sherpa diambil saat mereka di Kathmandu, Nepal.

Para peneliti mendapati bahwa bahkan pada tingkat paduk, mitokondria Sherpa lebih efisien menggunakan oksigen untuk memproduksi ATP, energi yang memberi daya pada tubuh.

Sesuai perkiraan berdasar perbedaan genetik, mereka juga mendapati tingkat oksidasi lemak yang lebih rendah pada Sherpa.

Otot punya dua cara untuk mendapatkan energi, dari gula seperti glukosa atau membakar lemak (oksidasi lemak).

Kebanyakan waktu, manusia mendapat energi dari pembakaran lemak namun ini tidak efisien, jadi ketika berolahraga manusia mengambil dari gula. Tingkat oksidasi lemak yang rendah kembali menunjukkan bahwa Sherpa lebih efisien dalam membangkitkan energi.

Pengukuran yang dilakukan pada ketinggian jarang berubah dari ukuran paduk pada Sherpa, menunjukkan bahwa mereka lahir dengan perbedaan itu.

Kendati demikian, bagi warga dataran rendah, ukurannya cenderung berubah ketika mereka berada di ketinggian, menunjukkan bahwa tubuh mereka menyesuaikan diri dan mulai meniru Sherpa.

Salah satu perbedaan kuncinya ada pada tingkat fosfokreatin, cadangan energi yang bertindak sebagai penyangga untuk membantu otot berkontraksi saat tidak ada ATP.

Di antara warga dataran rendah, setelah dua bulan di ketinggian, tingkat fosfokreatin anjlok sementara pada Sherpa naik.

Selain itu tim menemukan bahwa sementara tingkat radikal bebas naik dengan cepat di ketinggian, setidaknya pada awal, levelnya pada Sherpas sangat rendah.

Radikal bebas adalah molekul-molekul yang terbentuk akibat rendahnya oksigen yang berpotensi menyebabkan kerusakan sel dan jaringan.

"Sherpa menghabiskan ribuan tahun tinggal di ketinggian, jadi tentunya tidak mengejutkan mereka beradaptasi menjadi sangat efisien menggunakan oksigen dan membangkitkan energi," kata Dr Andrew Murray dari University of Cambridge, penulis senior studi itu.

"Ketika kita yang berasal dari negara dataran rendah menghabiskan waktu di ketinggian, tubuh kita beradaptasi menjadi lebih 'seperti Sherpa', tapi kita bukan tandingan mereka dalam hal efisiensi."

Tim peneliti menyatakan temuan-temuan itu memberikan wawasan bernilai untuk menjelaskan bagaimana sejumlah orang menderita hypoksia--kekurangan oksigen-- jauh lebih parah dalam kondisi darurat ketimbang yang lain.

"Meski kekurangan oksigen bisa dipandang sebagai bahaya pekerjaan bagi pendaki gunung, bagi orang di unit perawatan intensif itu bisa mengancam nyama," jelas Profesor Mike Grocott, kepala Xtreme Everest dari University of Southampton.

"Satu dari lima orang yang masuk unit perawatan intensif di Inggris setiap tahun meninggal dunia dan bahkan mereka yang bertahan kemungkinan tidak bisa memperoleh kembali kualitas hidup mereka sebelumnya."

"Dengan memahami bagaimana Sherpa bertahan di ketinggial dengan tingkat oksigen rendah, kita bisa mendapat petunjuk untuk mengidentifikasi mereka yang punya risiko lebih besar di ICU dan menginformasikan perawatan yang lebih baik untuk membantu pemulihan mereka," katanya sebagaimana dilansir laman Science Daily.

Penerjemah: Natisha Andarningtyas
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017