London (ANTARA News) - Kecintaan Fiona Kerlogue akan batik Indonesia, khususnya batik dari Jambi, membuat wanita Inggris itu bercita cita ingin membuka museum batik di London, seperti yang ada di Belanda. "Koleksi yang saya punya masih sedikit dan bila ada yang ingin menyumbangkan dengan senang hati akan saya terima," ujar Fiona, Deputy Keeper of Antropology and Curator of Asian Collections di The Horniman Museum, London, kepada ANTARA, Rabu malam. Dalam pertemuan perhimpunan Indonesia Inggris (Anglo Indonesia Society), yakni perkumpulan orang orang Inggris yang tertarik akan seni budaya dan juga yang pernah tinggal di berbagai kota atau bertugas di Indonesia, -- yang diadakan di KBRI London, Fiona menyampaikan sejarah batik Jambi. Sekitar 30 anggota Anglo Indonesia Society mendengarkan ceramah mengenai batik yang menarik minat para undangan, apalagi dengan ditampilkannya slide proses pembuatan batik serta bahan batik dari Jambi yang mempunyai corak yang berbeda dengan Batik dari Jawa. "Kenapa Jambi? Karena saya memang belajar batik di Jambi," ujar Fiona yang juga mengetahui kalau batik justru banyak terdapat di Jogya dan Solo. Saya juga pengen belajar Batik Madura," katanya. Fiona yang pernah menetap di Jambi tepatnya, di Kampung Olak Komang, bercerita mengenai perkembangan dan sejarah batik Jambi yang ternyata banyak dipengaruhi oleh budaya China dan Arab. Menurut wanita yang memperoleh gelar PhD di University Hull dalam bidang studi antropologi, Sir Stamford Raffles lah yang pertama kali memperkenalkan seni batik kepada dunia internasional, khususnya dari Inggris, yang dapat dilihat dari History of Java (1817). Secara panjang lebar Fiona membahas mengenai proses masyarakat di Jambi membatik, disain serta corak dan juga pengaruh kain batik Jambi dari budaya lainnya, seperti China ataupun Arab serta kegunaan kain batik dalam kehidupan masyarakat. Dikatakannya, batik digunakan berbagai upacara mulai dari upacara kelahiran hingga kematian, dimana masyarakat mengunakan kain batik guna menutupi kafan. Bahkan kain batik juga digunakan oleh pemuka adat. Sementara itu, Ketua Perhimpunan Indonesia Inggris, Christopher Scarlett, mengatakan bahwa Anglo Indonesia Society merupakan perkumpulan yang lebih menekankan kepada minat seni dan budaya. "Kami bukan organiasi politik," meskipun ada anggotanya mantan dubes atau mereka yang pernah bekerja di kedutaan Inggris di Indonesia. Setiap dua bulan, Anglo Indonesia Society yang dibentuk tahun 1956 oleh mendiang Baroness Vickers , menggelar bebagai kegiatan dan ceramah dengan berbagai topik memiliki lebih dari 250 anggota. (*)
Copyright © ANTARA 2007