Jakarta (ANTARA News) - Muhammad Fadli Immamudin mewakili semangat untuk bangkit dari keterpurukan.
Pria 32 tahun kelahiran Cibinong itu sebelumnya cukup terkenal di dunia balap motor nasional. Ia beberapa kali meraih medali di balapan kelas 4 tak 110 cc di Pekan Olahraga Nasional (PON) dan menjuarai ajang balap tingkat Asia.
Karir Fadli semestinya gemilang usai menjuarai ajang Supersport 600cc Asia Road Race Championship di Sirkuit Sentul awal Juni 2015.
Namun kegembiraan segenap pendukung saat Fadli melewati garis finis langsung berubah menjadi duka ketika pebalap Thailand, Jakkrit Sawangswat, menyalip Fadli dari sisi kiri dan menghantam kaki kirinya.
Seketika sirkuit menjadi mencekam setelah Fadli terlempar dari motornya sambil memegangi kaki kiri yang terus mengeluarkan darah.
Fadli kemudian menjalani perawatan dan program pengobatan untuk memulihkan cedera kaki kirinya. Namun syaraf-syaraf kaki kirinya ternyata tidak bisa pulih seperti sedia kala dan kaki kirinya kemudian diamputasi di sebuah Rumah Sakit di Jakarta pada awal 2016.
Setelah kehilangan kaki kiri, Fadli menjalani pemulihan selama enam bulan sambil beradaptasi dengan kondisi tubuhnya pasca-kecelakaan.
"Setelah itu, saya melakukan hal-hal kecil yang bisa. Karena berbulan-bulan istirahat, bangun kemudian berjalan saja saya sudah pusing," kata Fadli kepada Antara News melalui sambungan telepon di sela-sela kesibukannya berlatih dan mengajar di Sentul, Rabu (17/5).
Setelah terbiasa dengan satu kaki, Fadli mencoba melakukan aktivitas ringan sambil menyusun menu olahraga guna mengembalikan stamina tubuh. Kondisi fisiknya perlahan membaik. Ia menjadi terbiasa berjalan menggunakan kaki palsu.
"Sekitar akhir tahun lalu saya mencoba bersepeda," kata Fadli. "Saya mencoba apa pun yang bisa dikerjakan. Saya kemudian rutin bersepeda karena olahraga sudah menjadi kebiasaan saya sejak dahulu. Keluar rumah pagi hari untuk olahraga."
Tekad kuat untuk berlatih sepeda membuat mantan atlet balap sepeda Indonesia, Puspita Mustika Adya, tertarik melatih Fadli bersepeda secara profesional.
"Saya memilih balap sepeda karena saya senang bersepeda. Setelah tekun kembali bersepeda, Mas Puspita juga dari ISSI memberikan tawaran untuk berlatih," kata Fadli.
Fadli mengatakan saat ini sedang berlatih untuk mempersiapkan diri pada ajang Asean Para Games 2017 yang akan digelar di Malaysia pada September mendatang.
Dorongan Keluarga
Fadli mengatakan tekad kuat untuk kembali berkarir sebagai atlet muncul karena dorongan keluarga, terutama istri, dan anaknya yang lahir beberapa pekan setelah kecelakaan itu.
"Sebenarnya itu mengalir saja, pada saat kecelakaan ya oke kecelakaan. Namun setelah periode itu, masa saya harus terpuruk terus?" kata Fadli.
"Keluarga mendukung karena orang terdekat melihat saya pasif, padahal biasanya aktif. Dahulu setiap pagi keluar rumah untuk olahraga, itu karena pekerjaan saya juga. Kemudian saya sakit, di rumah saja, pasti mereka ingin saya bangkit," jelas Fadli
"Istri dan anak saya menjadi semangat saya untuk bangkit. Bagaimana pun juga, saya adalah kepala keluarga bagi mereka. Saya tidak boleh duduk-duduk saja," katanya.
Setelah itu Fadli memberanikan diri bersepeda dari rute yang pendek hingga jauh. Ia juga berlatih bersama klub sepeda dari berbagai komunitas.
Rutinias itu membawa Fadli ke tawaran untuk menjadi atlet, sekaligus menjadi instruktur di sebuah sekolah balap.
"Saya rasa peluang untuk kembali menjadi olahragawan tidak akan muncul jika saya tidak menunjukkan tekad untuk pulih," katanya.
Ia menambahkan, "Tekad saya memulai dengan bersepeda. Setelah itu, tawaran kembali datang, tentunya karena tekad saya untuk kembali."
Berkaca pada karirnya yang mengalir di dunia balap, Fadli bertekad mendukung kegiatan anaknya agar bisa berpestasi.
"Dengan ini, tentunya saya akan dukung apa pun kegiatan anak saya kelak. Sepak bola, bela diri atau apa pun itu asal di jalur pembinaan yang resmi agar berpestasi," tutur dia.
Berbagi
Kecelakaan fatal yang merenggut kaki kirinya tidak membuat Fadli lantas trauma dengan dunia balap motor. Ia kembali ke dunia balapan, namun sebagai instrukur untuk Honda Racing School.
Fadli juga membangun sekolah 43 Racing School guna mendidik pembalap muda berbakat berusia di bawah 20 tahun.
"Sekarang yang jelas saya latihan sepeda, menjadi instruktur untuk Honda Racing School, juga membuka sekolah balap motor 43 Racing School," katanya.
Hari-hari Fadli yang semula begitu longgar kemudian berubah menjadi sibuk. Setiap hari ia harus latihan sepeda, lalu mengajar di 43 Racing School.
"Saya harus membagi waktu, latihan sepeda dan 43 Racing School, biasanya saya gabung karena itu latihan wajib," kata dia.
"Kemudian jadi instruktur untuk Honda Racing yang tergantung jadwal dari Honda. Dalam kontrak saya, ada di bulan-bulan tertentu dalam setahun untuk ikut kegiatan Honda," tuturnya.
Fadli pun mengaku tidak sulit beradaptasi dengan profesi barunya. Ia telah belajar menjadi instruktur saat masih aktif membalap.
"Tidak terlalu berat karena saat menjadi pembalap saya sudah belajar menyambi jadi instruktur. Karena apa pun bidang olahraganya, jika sudah mulai senior, sudah ada pengalaman, setidaknya ada yang dibagikan kepada yang muda," katanya.
Fadli pun berharap pengalamannya bisa menjadi pelecut semangat pebalap muda untuk menggali bakat mereka tanpa mengkhawatirkan biaya.
"Banyak yang menilai balap itu olahraga mahal, padahal saya dulu tidak punya motor," kata Fadli.
Fadli menuturkan bahwa semula orangtua tidak mendukung kegiatan balapnya. Namun kekuatan tekad Fadli kemudian membuat orangtua mengizinkan dia membalap.
Jalan Fadli tidak mudah. Ia belum punya motor sendiri waktu mulai latihan balap dan setiap latihan atau lomba di Kemayoran, Jakarta, ia harus naik angkutan dari rumahnya di Cibinong kemudian menumpang Bajaj.
"Saya dulu enggak dianter, naik angkot dari Cibinong ke Kemayoran, kalau menang baru bisa naik taksi. Tapi itulah perjuangannya, Alhamdulillah bisa bawa pulang piala," katanya.
Kunci menjadi pebalap sukses, menurut dia, bukanlah fasilitas atau dukungan finansial dari orangtua, melainkan tekad kuat diri sendiri untuk menggali kemampuan.
"Jangan jadi pebalap kalau cuma mengikuti dorongan dari orangtua, atau setengah-setengah. Jangan juga beralasan kalau tidak punya motor dan lain-lain. Yang utama adalah tekad untuk terus berlatih, jika konsisten maka prestasi akan datang," demikian Muhammad Fadli Immamudin.
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017