"Kepastian peraturan perpajakan, akan mendorong investor di sektor pertambangan memiliki perhitungan yang jelas atas keputusan investasi yang akan diambil," kata Wakil Ketua Jurusan Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Fitriani Sjarief dalam diskusi "Sengketa Pajak Dalam Bisnis dan Pengaruhnya Terhadap Investasi," di Jakarta, Jumat.
Menurut Fitriani penataan aturan perpajakan pada sektor tambang diharapkan dapat menurunkan jumlah sengketa pajak di Indonesia.
Ia mencontohkan soal penerapan Surat Edaran (SE) Menteri Keuangan yang mengatur pengenaan PPh bagi wajib pajak badan yang memiliki Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Namun dalam pelaksanaannya penerapan Surat Edaran Dirjen 44P/PJ/2014 soal penegasan tarif PPh badan bagi Wajib Pajak Bidang Pertambangan dinilai kurang tepat untuk dijadikan dasar menyelesaikan sengketa pajak pertambangan.
Senada dengan itu, Pengamat Perpajakan David Hamzah mengatakan bahwa jumlah sengketa pajak dalam skala besar terus meningkat di Pengadilan Pajak mengindikasikan bahwa perlu upaya memperbaiki kualitas peraturan, khususnya di sektor pertambangan.
David menjelaskan saat ini lebih dari 12.000 kasus sengketa pajak di pengadilan baik dalam fase gugatan mau banding di pengadilan, meningkat 15 persen dibanding tahun sebelumnya.
Sementara, putusan pengadilan pada tahun 2016 hanya hanya mampu diselesaikan sekitar 9.000 kasus, atau cuma naik sekitar dua persen.
"Kepastian hukum pajak pertambangan diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara karena asumsi-asumsi usaha yang dijalankan pelaku pasar menjadi tepat dan terlaksana. Dengan begitu penerimaan negara dalam bentuk pajak akan lebih mudah dicapai," ujar David.
Selama ini, tambahnya dalam sengketa pajak yang diajukan perusahaan tambang di pengadilan pajak kerap ada keputusan yang memenangkan pemohon untuk dapat membayar 25 persen.
Namun dalam kasus lain ada permohonan yang ditolak sehingga perusahaan tambang itu harus membayar pajak 30 persen.
Menurutnya jika dalam aturan perpajakan terdapat banyak "grey area", maka hal itu akan menimbulkan ketidakpastian dalam asumsi bisnis yang dibutuhkan dalam berinvestasi.
"Ketika asumsi bisnis dan realisasinya beda, maka investor kemungkinan mengalami kesulitan yang mengakibatkan rencana bisnisnya terganggu," ujar David.
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017